Ulasan Memoar Becoming karya Michelle Obama
Oleh Afua Hirsch
Sebelum saya memberitahumu betapa saya menyukai Michelle Obama, perkenanlah agar saya sampaikan pada kalian hal yang tak saya sukai dari dirinya. Mantan Ibu Negara ini adalah seorang wanita yang sanggup menggoyahkan pendirianmu akan hal-hal yang sangat kau tentang. Hal pertama di dalam daftar adalah konsep utama dari seorang ibu negara itu sendiri. Coba saja pikirkan. Bagi kalangan feminis, atau siapapun yang secara nyata memegang prinsip kesetaraan gender abad ke-21, itu merupakan konsep yang sangat menggelisahkan. Ia merupakan sebuah posisi yang menuntut seorang wanita—betapapun kompleksitas dirinya yang tinggi, prestasinya yang memukau atau masalah dari kehidupan masa lalunya—untuk dimampatkan ke dalam sebuah peran yang,secara definisi, menyangkut tentang sosok pria yang dinikahinya.
Perannya tak pernah
terdefinisikan, karena, menurut dugaan saya, hal itu akan melibatkan sebuah
kebenaran ganjil—bahwa pada intinya, posisi itu hanya diperuntukkan demi
menjaga citra sang suami. Para Ibu Negara itu menyuburkan serta mencerminkan
nilai-nilai patriarki kita. Dengan begitu, di dunia yang masih begitu intoleran
terhadap dominasi wanita, menjaga citra suami-suami mereka secara tak langsung
berarti mengecilkan diri mereka sendiri, dan menciutkan pencapaian-pencapaian
mereka sendiri, supaya tidak melebihi presiden.
Michelle Obama adalah seorang Ibu Negara sungguhan dan juga, sebagai dampak sampingan, telah terlibat dalam pusaran kisah impian bangsa Amerika. Hal ini merupakan masalah dari sudut pandang kaum kulit hitam karena, sebagaiaman yang diungkapkan Malcolm X dengan begitu mengena,
“Aku tak melihat adanya impian orang Amerika. Yang kulihat, hanyalah mimpi buruk Amerika.”
Peran Obama terlibat dalam impian Amerika di masa depan, juga masa lalu. Peran Obama terlibat dalam impian Amerika di masa depan, juga masa lalu.
Acap kali dikatakan bahwa warga Afrika Amerika adalah satu-satunya
warga Amerika yang tidak mempunyai “masa-masa keemasan.” Karena periode manakah
dari sejarah bangsa Amerika yang bisa mereka rindukan? Teror perbudakan yang
disokong negara, dan segregasi? Perjuangan hak-hak sipil yang panjang dan
menyakitkan? Ataukah kerugian ekonomi yang bertahan lama dan rasisme yang
ketiganya tinggalkan?
Akan tetapi tepatnya di tengah kekacauan gelap inilah kita mendapati cahaya menarik dari Michelle Obama. Dalam Becoming—buku pertama yang menyampaikan kisahnya dari sudut pandangnya sendiri—dia mengungkapkan bahwa kehidupannya merupakan sebentuk transformasi tersendiri. Masa kecilnya, dibesarkan di kawasan Selatan Chicago, dikenang dengan ciri keutuhan khas bangsa Amerika; sebuah keluarga inti beranggotakan empat orang yang kukuh, berbagi apartemen satu kamar di lantai atas sementara di lantai bawah dihuni oleh bibi orangtuanya, Robbie, yang seorang guru piano. Keluarganya bekerja keras dan berjuang menapaki tangga hierarki.
Seandainya Michelle Obama seorang Inggris, ini akan menjadi kisah perjuangan kelas. Dia menjelaskan dirinya sendiri pada masa belia sebagai “pejuang”. Di kemudian hari, berkampanye untuk kali pertama bersama suaminya, dia mengenang momen ketika dirinya menyadari bahwa tugasnya pada dasarnya adalah untuk berbagi kisah ini dengan
“orang-orang yang meski berbeda warna kulit, mengingatkan diriku akan keluargaku—para pekerja pos yang memiliki mimpi-mimpi lebih besar, sama seperti yang dimiliki oleh Dandy (kakeknya); para pengajar piano yang memiliki kesadaran bermasyarakat seperti Robbie; para ibu rumah tangga yang terlibat aktif di komite orangtua murid seperti ibuku; para pekerja kerah biru yang akan mengorbankan segalanya untuk keluarga mereka, sama seperti ayahku. Aku tak perlu berlatih atau menggunakan catatan. Aku hanya menyampaikan apa yang secara tulus kurasakan.”
Penulis Ta-Nahesi Coates, yang hadir di salah satu acara itu,
begitu takjub mendengar “masa belianya yang begitu indah” sehingga dia “hampir
mengiranya sebagai orang kulit putih”, membandingkan dirinya, dia menuliskan
dalam bukunya We Were Eight Years in
Power, dengan “kuli pelabuhan tua yang mendamba permukiman masa lalu yang
telah kandas.” “Sepanjang masaku menyaksikan tokoh-tokoh kulit hitam,” ujarnya,
“Aku tak pernah mendengar seorang pun mengingat masa belia yang indah semacam
itu.”
Meski begitu, kecintaan protektif terhadap masa kanak-kanak
Michelle Obama tidak menutupi penderitaan dan ketidakadilan masyarakat yang,
bagi pengamat Amerika manapun, mustahil dihindari. Lingkungan dirinya
dibesarkan bertransformasi oleh adanya kepergian kaum kulit putih secara
besar-besaran, dan di kemudian hari “memburuk di bawah tekanan kemiskinan dan
kekerasan gang”. Pengalaman awal dirinya dengan pihak kepolisian melalui kakak
kesayangannya, Craig, telah mengajarkannya bahwa “warna kulit kita menjadikan
diri kita rapuh.” Pengalaman-pengalaman diskriminatif secara persisten telah
melahirkan di keluarganya “tingkat mendasar kebencian dan rasa tidak
ketidakpercayaan.”
Akan tetapi, sebagian besar kisah Michelle Obama tentang rasisme
bukan berasal dari perspektif dirinya sendiri, melainkan dari banyak komentator
yang telah memanfaatkan warna kulitnya untuk menjatuhkannya. “Gosip-gosip dan
komentar-komentar miring selalu membawa pesan yang tak begitu halus tentang
ras, yang dimaksudkan untuk memunculkan jenis rasa takut yang terdalam dan
terburuk pada publik pemilih.”
“Jangan biarkan kaum kulit hitam mengambil alih,” tulisnya. Michelle Obama ingat akan pesan sebagai “wanita hitam pemarah” yang dilontarkan, dan ketika “seorang anggota kongres yang menjabat … mengolok-olok bokongku.”
Namun dengan nada bermartabat, Becoming
meninggalkan jauh lebih banyak sejarah kotor seperti itu daripada yang dipilih
untuk diangkatnya. Misalnya, sampul majalah New
Yorker menggambarkan sosoknya sebagai Black Panther bersenjata ketika Fox
News menayangkan grafis di layar yang menggambarkan dirinya sebagai “Baby Mama”
bagi Barack Obama—seperti kiasan “welfare queen”[1] di
masa lalu, pesan politiknya menyiratkan
gagasan bahwa, jika keluarga kulit hitam menjadi akar masalah bangsa Amerika,
bagaimana mungkin salah satu dari mereka bisa menjadi bagian dari solusinya?
Atau ketika pembawa acara Fox Bill O’Reilly berujar: “Saya tidak akan mengikuti
aksi pembunuhan tanpa pengadilan terhadap Michelle Obama kecuali jika ada
bukti.”
Kebetulan saja buku karangan O’Reillylah yang secara pasti akan
disingkirkan Obama dari daftar buku terlaris dengan Becoming—mendorongnya untuk mengirim pesan cuitan yang terkesan
murah hati tentang ketika Michelle Obama, meski kedengkian O’Reilly terhadap
dirinya, berupaya untuk mencari dan bersikap ramah terhadap putrinya di sebuah
pesta. Itu merupakan sikap yang mengakar sepenuhnya dalam doktrin-doktrin khas
Michelle Obama. “Saat mereka bersikap rendah, kita bersikap tinggi.”
Becoming
merupakan 400 halaman perluasan terhadap doktrin penting ini, tanpa
mengompromikan tingkat kejujuran yang menyegarkan tentang dampak politik
terhadap dirinya. Saya telah membaca dua buku Barack Obama sejauh ini, dan buku
ini seperti memasukkan potongan realita yang hilang ke dalam narasi petualangan
Barack yang memusingkan.
Ada uraian
brilian dari kisah cinta mereka, seperti ketika Michelle Obama mencoba
menjodohkannya dengan wanita lajang yang lain, tetapi malah mendapati Barack
terlalu “intelektual” untuk menjalani malam-malam Happy Hour tempat orang-orang
lajang senang bercengkerama.
Ada
pengetahuan-pengetahuan menarik dalam duka keguguran, rasa sepi dengan hidup
bersama seorang pria yang makna hidupnya
sering kali hanya menyisakan sedikit tempat bagi hal lain, mendorong Michelle
untuk mencari bantuan konseling pernikahan jika tak ingin pernikahan mereka
berantakan.
“Hidup bersama
tujuan hidup Barack yang begitu kuat—tidur di ranjang yang sama bersamanya,
duduk di meja sarapan bersamanya—merupakan hal yang harus kubiasakan,”
tulisnya. Keterusterangannya tentang kehidupan berumah tangga—tekanan akan
penitipan anak, tagihan, utang, bekerja dan pengasuhan—menarik karena mereka
begitu normal, dan karena normal adalah sesuatu yang tidak diizinkan baginya.
Sebagaimana yang
ditulis oleh seorang akademisi, Ula Y Taylor, “gagasan bahwa seorang wanita
dianggap sebagai ‘radikal’ hanya dengan menjadi seorang ibu pekerja kulit hitam
yang bijak mengungkap banyak hal tentang persepsi warga Amerika akan pasangan
bagi tokoh politik, dan hal itu membantu kita untuk lebih memahami alasan
Michelle Obama dianggap terlalu kuat selaku Ibu Negara.”
Sulit bersikap sinis mengenai kekuatan karakter Michelle Obama
atau keotentikan dirinya. Bukunya menegaskan hal yang dapat diamati dari
masanya berada di Gedung Putih, bahwa meski dirinya mesti menyesuaikan diri ke
dalam cetakan sosok Ibu Negara sesuai tuntutan dalam politik, ia tetaplah versi
seorang Ibu Negara yang nyata. Ketidaksukaannya yang nyata terhadap politik
sulit dihindari, dalam sebuah buku yang mengakar pada dasar moral yang tinggi
di atas penghinaan dan pembunuhan karakter. Proses politik itu sendiri tampak
menjadi satu-satunya hal yang dia biarkan untuk cela secara bebas.
“Daya tarik untuk berdiri di sebuah gimnasium terbuka atau
auditorium SMA untuk mendengarkan janji-janji muluk dan basa-basi rasanya tak
pernah masuk akal bagiku,” tulisnya. “Dunia politik bukanlah tempat untuk
orang-orang baik.” Ia hanyalah “dinamika buruk dari partai Republik lawan
Demokrat,” yang “kekejiannya” telah memengaruhi dirinya secara pribadi. Dengan
kemarahan ini, dia berupaya untuk mengakhiri spekulasi keras kepala tentang
pencalonan dirinya sendiri di masa depan. “Karena orang-orang sering kali
bertanya, aku akan mengatakannya di sini, secara langsung: Aku tak berniat
untuk mencalonkan diri sebagai presiden, selamanya.”
Inilah satu waktu ketika kau merasa seakan lebih mengenal dirinya
daripada dirinya sendiri. Sedikit pendapat miring tentang politik dan
pernyataan satu kalimat bahwa dirinya tidak akan pernah mencalonkan diri
sebagai presiden tidak akan cukup setelah begitu banyak lembaran yang, secara
tak terbantahkan, merupakan buku politik. Sulit untuk melupakan masa ketika,
ditanyai tentang tantangan marathon politik suaminya, dia pernah menjawab, “ini
bukan apa-apa dibandingkan dengan sejarah asal kami.”
Selama masa jabatan Barack Obama, akar Michelle Obama dalam pengalaman sebagai orang Afrika Amerikalah, dalam sejarah kawasan Selatan yang secara bawaan dipahaminya sebagai “mengakar dalam diri,” yang memberikan Barack legitimasi penting di tengah para pemilih kulit hitam. Ia mengemuka di sini, menambah peringatan kuat akan penderitaan masa lalu terhadap pengamatan bahwa, selagi dia menyaksikan keluarga Trump mengambil alih Gedung Putih,
“keragaman yang mencolok … telah hilang, tergantikan oleh keseragaman yang terasa mematahkan semangat—jenis kelompok yang begitu dikuasai kaum kulit putih dan pria yang sudah sering kali kutemui.”
Becoming bisa jadi diartikan sebagai intervensi Michelle Obama dalam realita baru yang meresahkan ini. Ia jelas tak terbaca seakan sebagai yang terakhir.
Sumber: theguardian.com
Memoar memikat ini
menyuguhkan pengetahuan baru ke dalam masa kecil Michelle Obama di kawasan
Selatan Chicago dan pasang surut kehidupannya bersama Barack Obama.
[1] “Welfare queen” adalah istilah hinaan yang
digunakan di AS untuk merujuk pada wanita yang menyalahgunakan pembayaran
tunjangan kesejahteraa melalui penipuan, manipulasi, atau membahayakan anak.
The post Ras, Pernikahan, dan Sisi Buruk Politik appeared first on Noura Books.