Quantcast
Channel: Noura Books
Viewing all 500 articles
Browse latest View live

Night Flights: Hadiah Philip Reeve untuk Pemeran Anna Fang di Film Mortal Engines

$
0
0

Sejak film adaptasi Mortal Engines diumumkan, novel seri The Hungry City Chronicles semakin banyak diminati secara global. Salah satu alasannya adalah sederet nama tim produksinya yang sudah tidak asing di mata dunia, dari Peter Jackson hingga Christian Rivers. Namun setelah filmnya rilis pada akhir 2018 lalu, ada satu nama lain yang meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton film Mortal Engines: Anna Fang.

Foto: imdb.com

Anna Fang adalah kapten kapal udara ‘Jenny Haniver’ dan ketua tim tangguh Liga Anti Traksi. Dalam film Mortal Engines, karakter Anna Fang diperankan oleh seorang aktris asal Korea Selatan bernama Jihae. Akting Jihae dalam menghidupkan karakter cewek tangguh ini rupanya meninggalkan kesan yang dalam, baik di mata para penonton film maupun di mata sang penulis novel.  

Saking terkesannya dengan akting Jihae, Philip Reeve memutuskan untuk mendedikasikan sebuah novel prekuel berjudul Night Flights dengan Anna Fang sebagai tokoh utamanya. Berikut kalimat persembahan yang dicantumkan oleh Philip Reeve dalam prekuel tersebut: “Untuk Jihae, yang telah memerankan Anna Fang dengan begitu baiknya hingga membuatku sadar bahwa tokoh ini membutuhkan beberapa cerita tersendiri.”

Dalam situs resminya, Philip Reeve bahkan mengaku bahwa ia sebenarnya sudah terinspirasi untuk menulis prekuel ini sejak pertama kali mengobrol dengan Jihae pada tahun 2017 lalu. Philip menyadari bahwa karakter Anna Fang sangatlah kuat dan ikonik. Karena itulah, ia sangat menyayangkan betapa sedikit kemunculannya dalam novel Mortal Engines.

Dalam berbagai kesempatan, Philip Reeve mengaku sangat senang telah diberikan kesempatan untuk menulis cerita tentang kehidupan Anna Fang di luar plot Mortal Engines. Salah satu dari tiga cerita pendeknya berasal dari kisah yang pernah ditulisnya untuk World Book Day beberapa tahun lalu tentang masa lalu Anna Fang yang sempat diungkit sekilas dalam Mortal Engines, sedangkan dua cerita lainnya adalah tentang masa lalu Anna Fang yang sama sekali tidak diungkit dalam Mortal Engines.

Baca Juga: Philip Reeve, Penulis Mortal Engines yang Sempat Kehilangan Minat Menulis Fantasi & Sains Fiksi

Ilustrasi oleh ian McQue

Night Flights adalah sebuah spin-off Mortal Engines yang terdiri dari tiga cerita pendek tentang petualangan Anna Fang sejak kecil hingga lika-liku kehidupannya sebagai mata-mata dari Liga Anti Traksi. Kita akan berkenalan dengan sosok belia Anna Fang ketika rumahnya dimakan oleh Arkangel, sebuah kota predator yang kuat pada masanya. Kita juga akan melihat bagaimana dia kabur dari Arkangel, menghadapi monster bertangan satu, hingga akhirnya menjadi utusan Liga Anti Traksi dan menjalan berbagai misi yang penuh tantangan. Dengan tokoh utama setangguh itu, tentu saja Night Flights menjadi sebuah prekuel yang tidak boleh kamu lewatkan! [Rfd/Sumber: bookseller & youngpost]

The post Night Flights: Hadiah Philip Reeve untuk Pemeran Anna Fang di Film Mortal Engines appeared first on Noura Books.


Memilih Pekerjaan ≠ Menentukan Karier

$
0
0

Ketika memasuki usia kepala dua dan tiga, tak sedikit di antara kita yang menghadapi quarter life crisis alias krisis seperempat abad. Kondisi ini biasanya hadir begitu kita lepas dari kehidupan masa remaja dan mulai memasuki kehidupan orang dewasa yang biasanya disertai dengan beragam tuntutan kewajiban dan tanggung jawab. Selain itu, muncul pula kebingungan dalam menentukan arah hidup dan kegamangan dalam memilih karier.

60% Waktu Terjaga Kita untuk Bekerja

Pada tahap ini, kebanyakan orang biasanya akan berusaha mencari jalan terbaik yang dapat menuntun pada kebahagiaan di masa mendatang. Sayangnya ketika mulai menentukan pilihan, tidak banyak yang sadar bahwa karier mengambil porsi besar dalam kebahagiaan hidup. Begitu memasuki dunia kerja, kebanyakan orang menghabiskan lebih dari setengah waktu terjaganya (50-63%) untuk bekerja—yang berarti lebih dari sekitar 96.000 jam kerja dalam satu garis kehidupan. Oleh karena itu, perencanaan karier dan pekerjaan dapat dikatakan sebagai kendaraan penting yang dapat membantu kita melalui quarter life crisis. Dengan pekerjaan yang tepat dan karier yang bermakna, kita dapat mewujudkan alasan eksistensi kita di dunia sekaligus mencapai tujuan hidup yang paling utama, yaitu kebahagiaan.

Karier dan Pekerjaan Tidak Sama

Sebagian besar orang menilai keberhasilan karier melalui jenjang jabatan dalam lingkup pekerjaannya. Kalau begitu, apakah karier dan pekerjaan adalah hal yang sama? Tentu saja tidak. Pekerjaan adalah apa yang dilakukan berdasarkan deskripsi pekerjaan (job description)atau jabatan yang dipercayakan, sedangkan karier adalah benang merah yang memayungi setiap esensi pekerjaan yang dilakukan secara profesional. Sebuah pekerjaan dapat dicari lewat daftar lowongan pekerjaan (seperti ketika seseorang memutuskan untuk memesan sebuah menu di restoran), sedangkan karier adalah jalur profesional yang dipilih secara sadar oleh seseorang dan dapat direalisasikan melalui berbagai jenis pekerjaan.

Baca Juga: Stop, Passion Bukan Segalanya!

Dengan demikian, bekerja sesuai job description saja tidak serta-merta membawa kita pada karier yang cemerlang. Menurut survei Deloitte’s Shift Index yang tercantum dalam sebuah artikel di Business Insider, hampir 80% pegawai merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini membuktikan bahwa cinta atau tidaknya kita pada suatu pekerjaan dan karier dapat menentukan bahagia atau tidaknya kita dalam hidup ini. Berangkat dari pemikiran ini, mulai banyak anak muda yang menyadari pentingnya ‘passion’ dalam bekerja. Bahkan, tak sedikit pula yang akhirnya memutuskan untuk beralih profesi dan memilih untuk mengejar ‘passion’. Namun, apakah passion saja cukup untuk memperoleh kebahagiaan dalam berkarier?

Roller Coaster Karier

Yang perlu diingat sebelum memutuskan untuk mengejar passion secara membabi buta adalah bahwa perjalanan karier yang penuh makna itu seperti roller-coaster yang tak berujung, penuh naik-turun dan tidak semulus jalan tol. Sebelum ‘naik’ ke roller coaster tersebut, sebaiknya kamu sudah merancang jalur/peta perjalanan kariermu sejak awal. Sebagai referensi, kamu bisa intip berbagai tips praktis dari Inez Natalia* dalam bukunya Turn Right: Perjalanan Menuju Karier Penuh Makna. [Rfd]

*Inez Natalia, beserta Puri Lestari, adalah pendiri The Intersection Project, sebuah wadah yang membantu para dewasa muda untuk mengarahkan kekuatan dan kemampuannya agar memiliki fokus yang tepat untuk menjalani hidup penuh makna.

The post Memilih Pekerjaan ≠ Menentukan Karier appeared first on Noura Books.

Tuhan Dalam Syair-Syair Rumi

$
0
0

Rumi tak pernah membosankan untuk dibahas. Hingga ratusan tahun setelah ia wafat, syair-syairnya masih terus memikat berbagai kalangan. Salah satu kandungan syairnya yang menarik untuk dibahas adalah tentang Tuhan.

Untuk lebih menggali inspirasi dan makna Tuhan dalam puisi-puisi Rumi, Noura mengadakan acara Tuhan Dalam Syair-Syair Rumi, yang sekaligus peluncuran buku terbaru Haidar Bagir, Dari Allah Menuju Allah, pada:

Kamis, 14 Februari 2019, 15.30-18.00 WIB
Kinokuniya Bookstore, Plaza Senayan lantai 5

Bersama:

  • Haidar Bagir (Penulis, The Muslim 500/The World’s Most Influential Muslim)
  • M. Nur Jabir (Executive Director Rumi Institute)
  • Sakdiyah Ma’ruf (Komika Muslimah, BBC 100 Women)
  • Asma Nadia (Penulis, The Muslim 500/The World’s Most Influential Muslim)

The post Tuhan Dalam Syair-Syair Rumi appeared first on Noura Books.

Karier di Noura

$
0
0

Buat kamu yang literally perlu ekspresi diri which is menghasilkan salary, why nggak join sama kami?*

1. Digital Marketing Strategist

2. Digital Marketing Analyst

3. Social Media Officer

4. Content Creative

5. Ebook Converter

Kirim CV kamu ke: promosi@noura.mizan.com

*kami #AdadiJaksel 😉

KRITERIA DIGITAL MARKETING STRATEGIST

  1. Mengerti HTML dan CSS
  2. Bisa mengoperasikan Dreamweaver 
  3. Bisa Photoshop
  4. Diutamakan IT atau yang memiliki website pribadi

KRITERIA DIGITAL MARKETING ANALYST

  1. Mengerti HTML dan CSS
  2. Bisa mengoperasikan Dreamweaver 
  3. Bisa Photoshop
  4. Diutamakan IT atau yang memiliki website pribadi

KRITERIA SOCIAL MEDIA OFFICER

  1. Mengerti HTML dan CSS
  2. Bisa mengoperasikan Dreamweaver 
  3. Bisa Photoshop
  4. Diutamakan IT atau yang memiliki website pribadi

KRITERIA CONTENT CREATIVE

  1. Mengerti HTML dan CSS
  2. Bisa mengoperasikan Dreamweaver 
  3. Bisa Photoshop
  4. Diutamakan IT atau yang memiliki website pribadi

KRITERIA EBOOK CONVERTER

  1. Mengerti HTML dan Cascading Style Sheets (CSS)
  2. Bisa mengoperasikan Dreamweaver, Sigil dan Calibre 
  3. Bisa menggunakan Photoshop
  4. Diutamakan IT

The post Karier di Noura appeared first on Noura Books.

The Alibaba Story: How a Schoolteacher Built a $400 Billion Business from his Apartment

$
0
0

Siapa tak kenal Jack Ma? Pada September 2014, Alibaba, perusahaan e-commerce yang ia bangun, mengejutkan ranah teknologi global dengan memecahkan rekor IPO (Initial Public Offering atau Penawaran Umum Perdana) di Bursa Saham New York. Alibaba bahkan mengalahkan Facebook!

Saat ini Alibaba adalah raksasa bisnis e-commerce. Namun perusahaan yang didirikan Jack Ma ini tidak selalu menjadi “raksasa”. Hal tersebut diungkapkan Porter Erisman, Vice President Alibaba 2000-2008 dalam bukunya “Alibaba’s World: Perjalanan Luar Biasa Jack Ma Membangun Perusahaan E-Commerce Terbesar di Dunia”. Porter terlibat langsung dalam jatuh-bangunnya Alibaba dan menyaksikan bagaimana Alibaba bertumbuh mencapai impiannya karena kesederhanaan dan kekuatan Jack Ma.

Porter Erisman akan datang ke Indonesia dan  berbagi banyak inspirasi dan pengalaman tentang dunia e-commerce dan pertarungan sengit di dalamnya, pada:

Selasa, 5 Maret 2019

14.00-16.30 WIB

Auditorium lantai 2 Perpustakaan Nasional RI

Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat

Anda akan mendapatkan banyak insight tentang:

– Trend global e-commerce

– Pengalaman Porter Erisman sebagai “orang dalam” Alibaba dan bagaimana ia bersentuhan langsung dengan Jack Ma dan para koleganya selama menjabat sebagai Vice President Alibaba kurun waktu 2000-2008.

– Belajar dan menggali inspirasi baik dari keberhasilan maupun kesalahan yang pernah dilakukan oleh Jack Ma & Alibaba.

– Tips untuk para pelaku e-commerce di Indonesia.

Acara yang penting untuk: pebisnis–baik pemula atau yang sudah terjun lama, yang ingin memulai bisnis start-up, mahasiswa, anak muda, dan siapapun Anda yang ingin menggali inspirasi dari Alibaba.

Segera daftar ke: bit.ly/SeminarAlibabaStory

Tempat terbatas!

The post The Alibaba Story: How a Schoolteacher Built a $400 Billion Business from his Apartment appeared first on Noura Books.

WRITING PROJECT: LOVE YOURSELF

$
0
0

1-22 MARET 2019

WRITING PROJECT: LOVE YOURSELF

Dear Army, gimana sih pengaruh BTS dalam hidup kamu?
Seberapa menginspirasinya lirik lagu mereka?
Atau, mungkin kamu bete karena dipandang remeh sebagai fangirl?
Saatnya berkarya dan bergabung dalam proyek Noura Books!
Caranya? Kamu hanya perlu berbagi pengalaman sebagai ARMY
dan cerita yang terpilih akan dijadikan buku!

PERSYARATAN

  1. Semua ARMY Indonesia, penggemar dan penikmat musik BTS, boleh mengirimkan cerita (tidak ada batas usia ataupun gender).
  2. Cerita bisa berupa kisah pertama kali mengenal lagu BTS, kisah-kisah tak terlupakan selama menjadi penggemar, atau bagaimana BTS memengaruhi hidup kalian ke arah lebih baik.
  3. Format tulisan:
    Ms. Word, Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5, panjang 1-2 halaman.
    Sertakan nama, umur, e-mail, dan nomor telepon di bagian atas dokumen.
  4. Simpan file Ms. Word dengan nama lengkap kamu.
  5. Kirim file sebagai attachment ke e-mail btsproject_indo@gmail.com dengan subjek Nama Lengkap – BTS Project (Contoh: Amelia Risha – BTS Project).
  6. Jadwal pengiriman cerita Jumat, 1 Maret 2019 – Jumat, 22 Maret 2019 pukul 12 malam.
  7. Cerita terpilih akan mendapatkan e-mail konfirmasi pada Senin, 25 Maret 2019 – Jumat 29 Maret 2019.
  8. Cerita yang terkumpul nantinya akan diterbitkan sebagai buku oleh Noura Books.
  9. 8% dari hasil penjualan akan didonasikan untuk amal atas nama ARMY INDONESIA.

The post WRITING PROJECT: LOVE YOURSELF appeared first on Noura Books.

Ras, Pernikahan, dan Sisi Buruk Politik

$
0
0

Ulasan Memoar Becoming karya Michelle Obama

Oleh Afua Hirsch

Sebelum saya memberitahumu betapa saya menyukai Michelle Obama, perkenanlah agar saya sampaikan pada kalian hal yang tak saya sukai dari dirinya. Mantan Ibu Negara ini adalah seorang wanita yang sanggup menggoyahkan pendirianmu akan hal-hal yang sangat kau tentang. Hal pertama di dalam daftar adalah konsep utama dari seorang ibu negara itu sendiri. Coba saja pikirkan. Bagi kalangan feminis, atau siapapun yang secara nyata memegang prinsip kesetaraan gender abad ke-21, itu merupakan konsep yang sangat menggelisahkan. Ia merupakan sebuah posisi yang menuntut seorang wanita—betapapun kompleksitas dirinya yang tinggi, prestasinya yang memukau atau masalah dari kehidupan masa lalunya—untuk dimampatkan ke dalam sebuah peran yang,secara definisi, menyangkut tentang sosok pria yang dinikahinya.

Perannya tak pernah terdefinisikan, karena, menurut dugaan saya, hal itu akan melibatkan sebuah kebenaran ganjil—bahwa pada intinya, posisi itu hanya diperuntukkan demi menjaga citra sang suami. Para Ibu Negara itu menyuburkan serta mencerminkan nilai-nilai patriarki kita. Dengan begitu, di dunia yang masih begitu intoleran terhadap dominasi wanita, menjaga citra suami-suami mereka secara tak langsung berarti mengecilkan diri mereka sendiri, dan menciutkan pencapaian-pencapaian mereka sendiri, supaya tidak melebihi presiden.

Michelle Obama adalah seorang Ibu Negara sungguhan dan juga, sebagai dampak sampingan, telah terlibat dalam pusaran kisah impian bangsa Amerika. Hal ini merupakan masalah dari sudut pandang kaum kulit hitam karena, sebagaiaman yang diungkapkan Malcolm X dengan begitu mengena,

“Aku tak melihat adanya impian orang Amerika. Yang kulihat, hanyalah mimpi buruk Amerika.”

Peran Obama terlibat dalam impian Amerika di masa depan, juga masa lalu. Peran Obama terlibat dalam impian Amerika di masa depan, juga masa lalu.

Acap kali dikatakan bahwa warga Afrika Amerika adalah satu-satunya warga Amerika yang tidak mempunyai “masa-masa keemasan.” Karena periode manakah dari sejarah bangsa Amerika yang bisa mereka rindukan? Teror perbudakan yang disokong negara, dan segregasi? Perjuangan hak-hak sipil yang panjang dan menyakitkan? Ataukah kerugian ekonomi yang bertahan lama dan rasisme yang ketiganya tinggalkan?

Akan tetapi tepatnya di tengah kekacauan gelap inilah kita mendapati cahaya menarik dari Michelle Obama. Dalam Becoming—buku pertama yang menyampaikan kisahnya dari sudut pandangnya sendiri—dia mengungkapkan bahwa kehidupannya merupakan sebentuk transformasi tersendiri. Masa kecilnya, dibesarkan di kawasan Selatan Chicago, dikenang dengan ciri keutuhan khas bangsa Amerika; sebuah keluarga inti beranggotakan empat orang yang kukuh, berbagi apartemen satu kamar di lantai atas sementara di lantai bawah dihuni oleh bibi orangtuanya, Robbie, yang seorang guru piano. Keluarganya bekerja keras dan berjuang menapaki tangga hierarki.

Seandainya Michelle Obama seorang Inggris, ini akan menjadi kisah perjuangan kelas. Dia menjelaskan dirinya sendiri pada masa belia sebagai “pejuang”. Di kemudian hari, berkampanye untuk kali pertama bersama suaminya, dia mengenang momen ketika dirinya menyadari bahwa tugasnya pada dasarnya adalah untuk berbagi kisah ini dengan

“orang-orang yang meski berbeda warna kulit, mengingatkan diriku akan keluargaku—para pekerja pos yang memiliki mimpi-mimpi lebih besar, sama seperti yang dimiliki oleh Dandy (kakeknya);  para pengajar piano yang memiliki kesadaran bermasyarakat seperti Robbie; para ibu rumah tangga yang terlibat aktif di komite orangtua murid seperti ibuku; para pekerja kerah biru yang akan mengorbankan segalanya untuk keluarga mereka, sama seperti ayahku. Aku tak perlu berlatih atau menggunakan catatan. Aku hanya menyampaikan apa yang secara tulus kurasakan.”

Penulis Ta-Nahesi Coates, yang hadir di salah satu acara itu, begitu takjub mendengar “masa belianya yang begitu indah” sehingga dia “hampir mengiranya sebagai orang kulit putih”, membandingkan dirinya, dia menuliskan dalam bukunya We Were Eight Years in Power, dengan “kuli pelabuhan tua yang mendamba permukiman masa lalu yang telah kandas.” “Sepanjang masaku menyaksikan tokoh-tokoh kulit hitam,” ujarnya, “Aku tak pernah mendengar seorang pun mengingat masa belia yang indah semacam itu.”

Meski begitu, kecintaan protektif terhadap masa kanak-kanak Michelle Obama tidak menutupi penderitaan dan ketidakadilan masyarakat yang, bagi pengamat Amerika manapun, mustahil dihindari. Lingkungan dirinya dibesarkan bertransformasi oleh adanya kepergian kaum kulit putih secara besar-besaran, dan di kemudian hari “memburuk di bawah tekanan kemiskinan dan kekerasan gang”. Pengalaman awal dirinya dengan pihak kepolisian melalui kakak kesayangannya, Craig, telah mengajarkannya bahwa “warna kulit kita menjadikan diri kita rapuh.” Pengalaman-pengalaman diskriminatif secara persisten telah melahirkan di keluarganya “tingkat mendasar kebencian dan rasa tidak ketidakpercayaan.”

Akan tetapi, sebagian besar kisah Michelle Obama tentang rasisme bukan berasal dari perspektif dirinya sendiri, melainkan dari banyak komentator yang telah memanfaatkan warna kulitnya untuk menjatuhkannya. “Gosip-gosip dan komentar-komentar miring selalu membawa pesan yang tak begitu halus tentang ras, yang dimaksudkan untuk memunculkan jenis rasa takut yang terdalam dan terburuk pada publik pemilih.” 

“Jangan biarkan kaum kulit hitam mengambil alih,” tulisnya. Michelle Obama ingat akan pesan sebagai “wanita hitam pemarah” yang dilontarkan, dan ketika “seorang anggota kongres yang menjabat … mengolok-olok bokongku.”

Namun dengan nada bermartabat, Becoming meninggalkan jauh lebih banyak sejarah kotor seperti itu daripada yang dipilih untuk diangkatnya. Misalnya, sampul majalah New Yorker menggambarkan sosoknya sebagai Black Panther bersenjata ketika Fox News menayangkan grafis di layar yang menggambarkan dirinya sebagai “Baby Mama” bagi Barack Obama—seperti kiasan “welfare queen”[1] di masa lalu,  pesan politiknya menyiratkan gagasan bahwa, jika keluarga kulit hitam menjadi akar masalah bangsa Amerika, bagaimana mungkin salah satu dari mereka bisa menjadi bagian dari solusinya? Atau ketika pembawa acara Fox Bill O’Reilly berujar: “Saya tidak akan mengikuti aksi pembunuhan tanpa pengadilan terhadap Michelle Obama kecuali jika ada bukti.”

Kebetulan saja buku karangan O’Reillylah yang secara pasti akan disingkirkan Obama dari daftar buku terlaris dengan Becoming—mendorongnya untuk mengirim pesan cuitan yang terkesan murah hati tentang ketika Michelle Obama, meski kedengkian O’Reilly terhadap dirinya, berupaya untuk mencari dan bersikap ramah terhadap putrinya di sebuah pesta. Itu merupakan sikap yang mengakar sepenuhnya dalam doktrin-doktrin khas Michelle Obama. “Saat mereka bersikap rendah, kita bersikap tinggi.”

Becoming merupakan 400 halaman perluasan terhadap doktrin penting ini, tanpa mengompromikan tingkat kejujuran yang menyegarkan tentang dampak politik terhadap dirinya. Saya telah membaca dua buku Barack Obama sejauh ini, dan buku ini seperti memasukkan potongan realita yang hilang ke dalam narasi petualangan Barack yang memusingkan.

Ada uraian brilian dari kisah cinta mereka, seperti ketika Michelle Obama mencoba menjodohkannya dengan wanita lajang yang lain, tetapi malah mendapati Barack terlalu “intelektual” untuk menjalani malam-malam Happy Hour tempat orang-orang lajang senang bercengkerama.

Ada pengetahuan-pengetahuan menarik dalam duka keguguran, rasa sepi dengan hidup bersama  seorang pria yang makna hidupnya sering kali hanya menyisakan sedikit tempat bagi hal lain, mendorong Michelle untuk mencari bantuan konseling pernikahan jika tak ingin pernikahan mereka berantakan.

“Hidup bersama tujuan hidup Barack yang begitu kuat—tidur di ranjang yang sama bersamanya, duduk di meja sarapan bersamanya—merupakan hal yang harus kubiasakan,” tulisnya. Keterusterangannya tentang kehidupan berumah tangga—tekanan akan penitipan anak, tagihan, utang, bekerja dan pengasuhan—menarik karena mereka begitu normal, dan karena normal adalah sesuatu yang tidak diizinkan baginya.

Sebagaimana yang ditulis oleh seorang akademisi, Ula Y Taylor, “gagasan bahwa seorang wanita dianggap sebagai ‘radikal’ hanya dengan menjadi seorang ibu pekerja kulit hitam yang bijak mengungkap banyak hal tentang persepsi warga Amerika akan pasangan bagi tokoh politik, dan hal itu membantu kita untuk lebih memahami alasan Michelle Obama dianggap terlalu kuat selaku Ibu Negara.”

Sulit bersikap sinis mengenai kekuatan karakter Michelle Obama atau keotentikan dirinya. Bukunya menegaskan hal yang dapat diamati dari masanya berada di Gedung Putih, bahwa meski dirinya mesti menyesuaikan diri ke dalam cetakan sosok Ibu Negara sesuai tuntutan dalam politik, ia tetaplah versi seorang Ibu Negara yang nyata. Ketidaksukaannya yang nyata terhadap politik sulit dihindari, dalam sebuah buku yang mengakar pada dasar moral yang tinggi di atas penghinaan dan pembunuhan karakter. Proses politik itu sendiri tampak menjadi satu-satunya hal yang dia biarkan untuk cela secara bebas.

“Daya tarik untuk berdiri di sebuah gimnasium terbuka atau auditorium SMA untuk mendengarkan janji-janji muluk dan basa-basi rasanya tak pernah masuk akal bagiku,” tulisnya. “Dunia politik bukanlah tempat untuk orang-orang baik.” Ia hanyalah “dinamika buruk dari partai Republik lawan Demokrat,” yang “kekejiannya” telah memengaruhi dirinya secara pribadi. Dengan kemarahan ini, dia berupaya untuk mengakhiri spekulasi keras kepala tentang pencalonan dirinya sendiri di masa depan. “Karena orang-orang sering kali bertanya, aku akan mengatakannya di sini, secara langsung: Aku tak berniat untuk mencalonkan diri sebagai presiden, selamanya.” 

Inilah satu waktu ketika kau merasa seakan lebih mengenal dirinya daripada dirinya sendiri. Sedikit pendapat miring tentang politik dan pernyataan satu kalimat bahwa dirinya tidak akan pernah mencalonkan diri sebagai presiden tidak akan cukup setelah begitu banyak lembaran yang, secara tak terbantahkan, merupakan buku politik. Sulit untuk melupakan masa ketika, ditanyai tentang tantangan marathon politik suaminya, dia pernah menjawab, “ini bukan apa-apa dibandingkan dengan sejarah asal kami.” 

Selama masa jabatan Barack Obama, akar Michelle Obama dalam pengalaman sebagai orang Afrika Amerikalah, dalam sejarah kawasan Selatan yang secara bawaan dipahaminya sebagai “mengakar dalam diri,” yang memberikan Barack legitimasi penting di tengah para pemilih kulit hitam.  Ia mengemuka di sini, menambah peringatan kuat akan penderitaan masa lalu terhadap pengamatan bahwa, selagi dia menyaksikan keluarga Trump mengambil alih Gedung Putih,

“keragaman yang mencolok … telah hilang, tergantikan oleh keseragaman yang terasa mematahkan semangat—jenis kelompok yang begitu dikuasai kaum kulit putih dan pria yang sudah sering kali kutemui.”

Becoming bisa jadi diartikan sebagai intervensi Michelle Obama dalam realita baru yang meresahkan ini. Ia jelas tak terbaca seakan sebagai yang terakhir.

Sumber: theguardian.com

Memoar memikat ini menyuguhkan pengetahuan baru ke dalam masa kecil Michelle Obama di kawasan Selatan Chicago dan pasang surut kehidupannya bersama Barack Obama.


[1]Welfare queen” adalah istilah hinaan yang digunakan di AS untuk merujuk pada wanita yang menyalahgunakan pembayaran tunjangan kesejahteraa melalui penipuan, manipulasi, atau membahayakan anak.

The post Ras, Pernikahan, dan Sisi Buruk Politik appeared first on Noura Books.

Hello Goodbye: Prosa & Puisi Sederhana yang Bernilai Maut

$
0
0

Sebelum saya menuliskan lebih lanjut resensi buku ini, saya ingin mengucapkan permintaan maaf saya kepada seseorang yaitu tentang sifat kepo maniak yang melebihi para stalker. Tidak. Saya tidak ingin melakukan hal buruk apapun kepada Anda. Yang saya inginkan hanya satu: mengucapkan permintaan maaf atas tindakan konyol yang pernah saya lakukan kepada Anda beberapa waktu lalu. Tindakan konyol itu sebenarnya ada hubungan dengan tulisan ini.

Baru-baru ini, saya membeli sebuah buku berjudul Hello Goodbye, yang ditulis oleh seorang komikus, desainer grafis, dan selebgram (sekaligus selebtwit) terkenal: Ditta Amelia Saraswati a.k.a. Helloditta. Buku ini merupakan rilisan ulang dari buku berjudul sama (Ditta Amelia Saraswati, 2017). Sebelumnya, buku ini dicetak secara self publish.

Foto: Ditta

Pada buku ini, Ditta menuliskan beberapa puisi dan prosa dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia (Anda tahu kan, target market yang ingin dituju ?). Salah satu hal yang merupakan faktor resonansi (kesamaan frekuensi) saya dengan sang penulis adalah kesukaannya akan The Smiths. Ada satu prosa yang terinspirasi lagu The Smiths yaitu “There is a light That Never Goes Out”. Di dalam lagu “There is a Light that Never Goes Out”, Morrissey (vokalis sekaligus penulis lagu-lagu The Smiths) menulis, ada dua orang tokoh di mana salah satu tokoh minta diantarkan di dalam mobil untuk keluar dari permasalahan yang ada di rumah salah satu tokoh karena ia merasa tidak dianggap di sana.

Ditta berhasil menerjemahkan lagu tersebut menjadi prosa berbentuk deskripsi yang secara lugas mengena terhadap lirik lagu tersebut. Prosa tersebut berjudul Late Night. Pada prosa tersebut, ia menceritakan seorang perempuan muda yang minta jalan-jalan tengah malam (jaywalking) dengan mobil oleh teman cowoknya ke restoran cepat saji 24 jam. Ia meminta demikian karena tidak tahan dengan pertengkaran orangtuanya di rumah yang akan berujung ke perceraian. Yang kurang dari prosa ini adalah mengenai dimasukkannya unsur lirik “And If a Double Decker Bus, Crashes Into Us”. Entah kenapa. Mungkin karena setelah era Reformasi, bus tingkat sudah jarang ditemui di Indonesia atau Ditta tidak ingin memasukkan sesuatu yang tragis di dalam cerita ini.

Baca Juga: Ditta Amelia, Penulis Sekaligus Ilustrator Buku Hello Goodbye

Foto: Ditta

Mengenai unsur tragedi yang antiklimaks, Ditta juga menuliskannya dalam cerita berjudul Kereta Pagi. Dikisahkan seorang lelaki yang rutin menggunakan KRL (commuter line) sebagai sarana moda transportasi, sering bertemu dengan seorang cewek yang juga menggunakan moda rute serupa tetapi berbeda arah dan platform (tempat menunggu kereta berhenti). Fenomena ini disebut juga sebagai randomencounter. Setiap hari ia selalu melihat sang perempuan berdiri di platform seberang dengan harapan suatu hari bisa bertemu untuk menyapa dan saling mengenal satu sama lain. Sayang, suatu hari sang perempuan terlihat bertemu dengan seorang lelaki yang mungkin baru saja ia kenal. Lewat cerita tersebut, Ditta secara tidak langsung ingin memberi pesan tentang seize the moment. Pesan yang sederhana tapi dikemas dalam cerita yang cukup menegangkan.

Selain itu, Ditta menulis kisah sesuatu yang berakhir kontras. Ia menulis puisi yang bertema sama dengan judul “Paradoks” (sebenarnya, puisi ini tidak bernama, tapi puisi ini dicetak satu halaman di belakang bab yang diberi nama “paradoks”). Puisi ini unik karena Ditta menuliskan beberapa hal yang berlawanan satu sama lain. Antara baik dan buruk serta antara keindahan serta kejelekan. Ia mengawinkan kedua kata ini menjadi satu puisi yang berujung pada satu hal: keharmonisan.

Foto: @helloditta

Buku ini secara keseluruhan saya beri nilai 8,5 dari 10. Ditta pada akhirnya telah berhasil menerjemahkan beberapa cerita yang sederhana ini menjadi cerita yang sangat berkesan kepada para pembacanya.

Oh ya, saya sempat mendengarkan streaming wawancara dengan Ditta di Radio Trijaya FM Jakarta, beberapa waktu lalu. Dia sendiri mengakui bahwa beberapa bagian dari buku ini terinspirasi pengalaman pribadi dan pengalaman teman-teman dekatnya. Dari podcast tersebut, dia membocorkan sedikit sisi narsis yang ia miliki melalui jumlah cerita dan segmen yang ia bagi di dalam buku sebelumnya. Sisi narsis tersebut adalah tanggal ulang tahun dirinya. Jadi semacam easter egg tersendiri bagi pembaca yang menyadarinya. Jadi berpikir, apakah Ditta ini juga bisa seperti Taylor Swift versi Indonesia di mana kesamaannya adalah memiliki level narsis yang bisa menaklukkan beberapa lelaki dan pintar menuliskan sesuatu yang memiliki nilai maut? 😉

Sumber: https://radiopumpkins.blogspot.com/2018/12/review-buku-hello-goodbye-by-hello-ditta.html

Baca Juga: Seorang Gadis Kecil, Buku, dan Menulis: Kisah di Balik Hello Goodbye




The post Hello Goodbye: Prosa & Puisi Sederhana yang Bernilai Maut appeared first on Noura Books.


Karier di Noura

$
0
0

Buat kamu yang literally perlu ekspresi diri which is menghasilkan salary, why nggak join sama kami?

1. Digital Marketing Strategist

2. Digital Marketing Analyst

3. Social Media Officer

4. Content Creative

5. Ebook Converter

Kirim CV & portofolio kamu ke: promosi@noura.mizan.com

Catatan: Semua posisi ini untuk penempatan di Jakarta dan full time.

Syarat Digital Marketing Strategist

  1. Paham Social Media Marketing (SMM) termasuk community development, influencer, dan paid ads.
  2. Paham Search Engine Marketing (SEM), termasuk SEO, manajemen Google Adwords, dan Google Analytics.
  3. Memahami e-mail marketing dan dapat membuat content marketing.
  4. Lebih disukai pernah bekerja sebagai digital marketer.

Syarat Digital Marketing Analyst

  1. Paham dengan Google Analytics dan tool analytic lain.
  2. Mampu berkomunikasi dan presentasi dengan baik.
  3. Aktif dan paham dengan social media.

Syarat Social Media Officer

  1. Aktif dan menguasai berbagai platform social media.
  2. Kreatif dalam membuat konten.
  3. Lebih disukai bila memiliki kemampuan desain sederhana.

Syarat Content Creative:

  1. Menguasai Adobe Ilustrator, Photoshop, Indesign, Premiere Pro.
  2. Memiliki ide-ide kreatitf dan inisiatif yang tinggi.
  3. Aktif di social media.

Syarat E-Book Converter

  1. Mengerti HTML dan CSS
  2. Mampu mengoperasikan Dreamweaver, Sigil dan Calibre 
  3. Menguasai Photoshop

The post Karier di Noura appeared first on Noura Books.

7 Fakta Tentang Michelle Obama Penulis Memoar Terlaris di Dunia

$
0
0

Dalam memoarnya, Becoming, Michelle Obama menceritakan pengalaman hidupnya hingga menjadi (mantan) perempuan nomor satu di Amerika Serikat. Dari Princeton ke Gedung Putih, berikut tujuh fakta tentang Michelle Obama.

1. Michelle adalah salah satu dari sedikit mahasiswa berkulit hitam di Princeton.

Namun menjadi bagian dari minoritas justru membuatnya berusaha lebih keras. Pada tahun 1981, Michelle memulai masa kuliahnya di Princeton University di usianya yang ketujuh belas. Saat itu, Princeton didominasi oleh pria kulit putih. Karena mahasiswa berkulit hitam hanya sekitar sembilan persen dari total mahasiswa seangkatannya, ia mengaku sering dipandang dengan tatapan aneh. Namun bukannya merasa minder, ia justru memutuskan untuk menunjukkan semua orang bahwa performanya tidak kalah dengan orang-orang berkulit putih yang mendapat privilese.

2. Michelle adalah mentor saat Barack Obama magang di firma hukum.

Saat bekerja di sebuah firma hukum, Michelle diminta untuk menjadi mentor bagi seorang mahasiswa magang yang konon berpenampilan ‘menarik’ dan cukup berbakat. Awalnya ia skeptis, tapi lama-kelamaan Michelle mulai sering memikirkan pria itu. Setelah mencoba menyembunyikan perasaannya selama beberapa lama, Michelle akhirnya mengikuti kata hatinya dan mulai menjalin hubungan dengan mahasiswa magang tersebut yang bernama Barack Obama.

3. Michelle tidak setuju saat Barack terjun ke dunia politik.

Michelle tidak suka politisi dan tidak begitu suka kalau suaminya menjadi seorang politisi. Ia percaya ada cara lain yang lebih baik untuk membuat sebuah perubahan. Meskipun demikian, ia tetap memberi dukungan. “Kalau Barack percaya bahwa dirinya dapat membuat perubahan melalui politik, aku tidak akan menghalanginya.”

4. Pidato Barack pada tahun 2004 mengubah hidupnya selamanya.

Pada tahun 2004, Michelle menitipkan Malia dan Sasha pada ibunya dan pergi ke Boston untuk berada di sisi Barack dalam penyampaian pidato di Democratic National Convention. Ketika suaminya selesai berpidato, khalayak bersorak ramai. Sejak itu, tak hanya kerap dimintai tanda tangan oleh orang banyak, Michelle bahkan sempat diwawancara oleh Oprah!

5. Michelle merasa terhormat sebagai ibu negara, tapi ia tahu hal itu tidaklah mudah.

“Tidak ada panduan tentang bagaimana menjadi perempuan nomor satu di AS, dan tak pernah sekalipun aku menganggap posisi itu sebagai hal yang mudah.” jelasnya. Apalagi, menurut Michelle, sebelumnya tidak pernah ada ‘kulit hitam’ yang mendapat posisi ‘nomor satu’ di AS.

6. Gedung Putih seperti sebuah hotel yang mewah Bagi Michelle.

Menurut Michelle, tinggal di Gedung Putih seperti tinggal di sebuah hotel mewah yang hanya ditinggali oleh satu keluarga. Meskipun ada banyak staf kebersihan di sana, Michelle bersikeras agar putri-putrinya tetap membereskan kasur mereka sendiri.

7. Michelle merasa gugup saat bertemu Ratu Inggris, tapi ternyata mereka cepat akrab!

Pada tahun 2009, Michelle dan Barack menghadiri G20 Summitdi London dan diundang ke Istana Buckingham untuk bertemu Sang Ratu. Saat itu Michelle merasa sangat gugup, tapi ternyata sang Ratu  sangatlah ramah dan bersahaja. Ketika Ratu berkomentar tentang perbedaan tinggi mereka, Michelle menunjuk sepatu ber-hak yang ia pakai dan Sang Ratu langsung berkomentar, “Sepatu seperti ini sangat tidak nyaman, bukan?” Itu bukanlah percakapan antara ratu bermahkota dan ibu negara AS, tapi sebuah percakapan antara dua orang wanita yang paham rasanya tersiksa oleh hak sepatu tinggi! [Rfd/Sumber: BBC UK]

The post 7 Fakta Tentang Michelle Obama Penulis Memoar Terlaris di Dunia appeared first on Noura Books.

Kekuatan yang Bermartabat, Menyentuh, dan Cermat dari karya Michelle Obama Becoming

$
0
0
Oleh Curtis Sittenfeld

Memoar baru Michelle Obama, Becoming, seperti yang mungkin telah kalian dengar, begitu indah dan luar biasa. Begitulah pendapat Oprah Winfrey, dan Tayari Jones, dan Reese Witherspoon, dan saudariku Jo, dan juga menurutku sendiri—saking begitu antusiasnya sampai-sampai pada pekan aku membacanya, aku telah mendata enam orang yang ingin kuberikan buku tersebut.

Buku ini secara mengejutkan begitu jujur, kaya emosi, dan penuh detail hingga ia memampukan pembaca untuk merasakan secara persis apa yang dirasakan Michelle sendiri dalam berbagai momen kehidupannya. Pada bagian ketika dia dan Barack jatuh cinta, aku merasa hanyut dalam ciuman pertama mereka; ketika Michelle duduk bersama ayahnya di kamar rumah sakit pada malam dirinya meninggal, aku menangis begitu kencangnya di pesawat sehingga, saat troli minum mendekat, aku terpaksa menutup buku itu dan menenangkan diri, supaya aku bisa berbicara dengan pramugari; dan ketika Malia dan Sasha kecil secara pandai mengatasi keganjilan dari perjalanan kampanye dan kehidupan mereka kemudian di Gedung Putih, dengan tetap mempertahankan kejujuran mereka, aku merasa begitu bangga dan protektif seakan-akan anak-anak perempuan itu merupakan anak-anak temanku.

Becoming juga memuat satu penjelasan terbaik tentang menjadi ibu bekerja yang pernah kubaca, sebuah potret di tahun 2004 ketika Michelle berumur 40 dan menjabat sebagai direktur eksekutif bagi urusan masyarakat di Rumah Sakit Universitas Chicago dan Barack menjadi senator negeri yang menghabiskan sebagian besar minggu di Springfield, Illinois: “Di Clybourn Avenue di Chicago, tepat di sisi utara pusat kota, terdapat sebuah surga ganjil, yang tampak diperuntukkan bagi orangtua bekerja, tampak diperuntukkan bagiku: sebuah deretan mal serba-ada yang standar dan khas Amerika. Ia memiliki BabyGap, Best Buy, Gymboree, dan CVS, plus sejumlah toko cabang lain, besar maupun kecil, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak konsumen manapun, entah itu tongkat penyedot kakus, alpukat matang, atau topi mandi ukuran anak. Ada juga Container Store di dekat sana dan Chipotle, yang menjadikannya lebih baik lagi. Inilah tempatku. Aku bisa memarkir mobil, mendatangi dua atau tiga toko yang diperlukan, memesan semangkok burrito, dan kembali ke meja kantorku dalam hitungan enam puluh menit saja. Aku mahir dalam perjalanan singkat saat jam makan siang—mengganti kaus kaki yang hilang, membeli kado bagi anak lima tahun manapun yang mengadakan pesta ulang tahun di hari Sabtu, menyetok ulang jus-jus kemasan dan saus apel ukuran-single … Ada kalanya ketika duduk di mobil yang terparkir sambil menikmati makanan cepat sajiku seorang diri dengan radio mobil yang dinyalakan, dikuasai rasa lega, aku merasa terkesan oleh keefisienanku sendiri. Inilah kehidupan bersama anak-anak kecil. Inilah yang terkadang dianggap sebagai pencapaian. Aku mendapatkan saus apelnya. Aku menikmati makanan. Semua orang masih hidup. Lihatlah bagaimana aku berhasil melakukannya, aku ingin berkata pada saat-saat itu, bukan kepada penonton manapun selain diriku sendiri. Apakah semua melihat bagaimana aku berhasil mengatasinya?”

Dalam kurun tiga tahun, Michelle, tentu saja, memiliki penonton yang jauh lebih besar, tetapi yang mengesankan adalah betapa dia secara konsisten bertahan menjadi dirinya sendiri, sejak waktu dirinya masih kecil yang tumbuh besar di sebuah apartemen sewaan sederhana di kawasan Selatan Chicago, tempat selama berada di bangku Sekolah Dasar dia merasakan kepergian massal kaum kulit putih secara nyata; hingga masa belianya sebagai remaja yang menghadiri SMA unggulan tempat dirinya harus menempuh perjalanan tiga jam setiap harinya, dan di sana dia berteman baik dengan putri Jesse Jackson Santita; hingga tahun-tahunnya sebagai mahasiswa S1 di Princeton dan mahasiswi fakultas hukum di Harvard; hingga masa jabatannya yang singkat di sebuah firma hukum Chicago yang mewah sebelum dirinya beralih untuk bekerja sebagai asisten bagi walikota Richard M. Daley saat itu, kemudian sebagai direktur eksekutif sebuah LSM, lalu sebagai perpanjangan komunitas di Universitas Chicago; kemudian akhirnya pada perjalanan kampanye, yang berawal di Iowa dan berakhir di Gedung Putih. Ciri kepribadian yang mendefinisikan Michelle di masa belianya—dengan etika kerja yang fokus dan terorganisir dan ambisi yang berpadu dengan kehangatan dan selera humor tinggi—terus mendefinisikan dirinya di Pennsylvania Avenue, begitu pula dengan persoalan sosial yang paling berarti baginya: menunjukkan kepada orang-orang, terutama kepada anak-anak muda berkulit warna yang berasal dari latar belakang ekonomi lemah, bahwa mereka patut mendapatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, keselamatan dan pekerjaan yang baik. Atau, dengan kata-katanya sendiri, Kau pantas berada di sini. Kau penting. Aku menghormatimu.

Walaupun dirinya terlihat cukup percaya diri, sisi ironi dari Becoming adalah bahwa bagian yang menjadikan sosok Michelle menjadi narator yang memikat adalah karena dirinya tidak terkesan berusaha menjadi demikian. Kendati cukup mengejutkan sebagai sebuah memoar politik—walaupun tidak terlalu, mengingat pengakuannya yang menghindar dari mencalonkan diri sebagai presiden sendiri—tujuan Michelle dalam buku ini tampak akurat dan tepat, alih-alih mengagungkan diri sendiri atau membalas dendam masa lalu. Di atas segalanya, tampaknya dia menggambarkan situasi sebagaimana kejadian yang nyata, dan dirinya sebagaimana adanya, entah gambaran itu bagus atau tidak. Sebagai seorang pengacara muda yang mengenakan setelan Armani, mengendarai Saab, dan memiliki keanggotaan layanan minuman anggur, dia mengeluhkan kepada ibunya yang bersahaja itu bahwa dirinya merasa “tak puas.” Di rumah pemakaman setelah kematian ayahnya, dia dan kakak laki-lakinya, Craig, yang biasa dia kagumi, terlibat dalam cekcok tentang jenis peti mati yang akan dibeli. Pada malam inaugurasi presiden tahun 2009, setelah menari dengan lagu “At Last” di sepuluh pesta dansa berbeda, dia begitu letihnya sehingga, ketika kembali ke Gedung Putih untuk menghadiri pesta dengan teman-teman sungguhannya dan keluarga, dia mendapati mereka, berpaling, lalu kabur, bahkan tanpa menyapa orang-orang terdekatnya. Tak satu pun dari adegan-adegan tersebut yang menggambarkan dirinya sebagai sosok panutan, tetapi di semua adegan itu, dia sepenuhnya manusiawi.

Sama seperti kita semua sekali waktu, Michelle secara mengesankan begitu sembrono dan norak: “Aku merancang ciuman pertamaku yang sungguhan, malah, melalui sambungan telepon. Dengan seorang anak laki-laki bernama Ronnell … Aku tak ingat siapakah di antara kami yang mengusulkan pertama kali agar kami bertemu di luar rumahku suatu sore untuk mencoba berciuman, tetapi tak ada kepura-puraan; tidak ada eufemisme malu-malu yang diperlukan. Kami tidak akan ‘bercengkerama’ atau ‘berjalan-jalan.’ Kami akan bermesraan. Dan kami berdua sama-sama menginginkannya.”

Dia juga, sama seperti kita sekali waktu, merasa kesal, khususnya selama waktu Barack meninggalkan beban pengasuhan harian kepada dirinya, sementara Barack menjalankan serangkaian tugas terpilih. Faktanya, Michelle merasa kewalahan oleh ketidakhadirannya baik secara emosi (“Sekali saja, aku menginginkan dirinya merasa puas dengan kehidupannya saat ini. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa memandangi Sasha dan Malia, kini berusia lima dan delapan tahun, dengan rambut kucir kuda dan keceriaan mereka, tetapi masih merasakan hal yang lain”) dan secara logistik. (Pada setiap malam Kamis, ketika Barack secara rutin pulang larut dari Springfield, “Entah dia akan mendapatiku dalam keadaan marah atau tidak bisa diladeni, karena telah memadamkan setiap lampu di rumah dan sudah tertidur lelap.”)

Dan, sama seperti kita, Michelle Obama bingung—sering kali, bingung akan keberadaan dirinya. Dia bingung akankah dirinya pantas berada di berbagai sekolah elite, akankah dia sebaiknya bertahan di firma hukum bergengsinya, akankah dia sebaiknya mengencani rekanan musim panas yang tampan dengan nama yang ganjil, akankah setelah memiliki anak-anak dia sebaiknya bekerja paruh-waktu atau purna waktu atau tidak sama sekali, akankah dan seberapa besar dia sebaiknya mendukung kampanye politik Barack, akankah tinggal di Gedung Putih kelak menjadi hal yang buruk bagi putri-putrinya. Tentu saja, kebingungannya tertanam di judul buku itu sendiri: dengan berpendapat di halaman pertama bahwa menanyakan anak-anak akan keinginan mereka saat besar nanti adalah pertanyaan yang “sia-sia.” Dia menambahkan, “Seakan-akan tumbuh dewasa ada batasannya. Seakan-akan di satu titik kau akan menjadi sesuatu dan itulah akhirnya.”

Aku menduga bahwa sebagian dari kekuatan Becoming terletak dari caranya menggunakan teknik-teknik bercerita novel alih-alih seperti memoar politik biasa—dalam kejujurannya mengenai watak manusia dan ambivalensi, ya, tetapi juga dalam detail-detail berwarna dan keanehannya (walau dia dan Barack begitu senang untuk mandi lumpur saat bulan madu mereka di California Selatan, mereka berdua mendapati berendam di lumpur nyatanya “sama sekali tidak menenangkan dan agak jorok”), dalam kesediaannya untuk membiarkan anekdot-anekdotnya berbicara sendiri alih-alih secara sok tahu mengeja pelajaran di baliknya.

Ada deskripsi menarik pada malam Mahkamah Agung mengesahkan aturan pernikahan gender yang sama, ketika Michelle dan Malia nyaris berhasil menyelinap keluar karena mereka ingin menyaksikan Gedung Putih yang diterangi dengan lampu-lampu warna pelangi dan mendengarkan “dengung publik, orang-orang yang bersorak dan merayakan di luar gerbang-gerbang besi.” Michelle tidak terlalu memperjuangkan pernikahan satu gender itu sendiri, tetapi spesifikasi adegan itu secara nyata mengungkap gairahnya.

Becoming bahkan menyerupai sebuah novel dalam alurnya. Narasinya cepat sekaligus mengulur waktu, melambat saat penting untuk memberi nuansa pribadi atau pengalaman atau perasaan, sehingga seandainya dan ketika nuansa pribadi, pengalaman, atau perasaan itu kembali muncul kemudian dalam buku, mereka akan terasa jauh lebih kuat. Alasan aku menangis saat membaca tentang kematian ayahnya adalah karena Michelle telah menunjukkan sosoknya lebih dari seratus halaman sebelumnya—kegemarannya pada mobil Buick dua pintunya, yang dijuluki the Deuce and a Quarter, yang dibawanya tanpa kata ke bengkel untuk diperbaiki setelah pintunya tergores selagi mobilnya terparkir di permukiman kulit putih; ketabahannya saat dia menanggung rasa sakit akibat penyakit multiple sclerosisnya; caranya menghibur anak-anaknya ketika mereka ingin mengadakan latihan pemadaman kebakaran keluarga yang terperinci. Juga merupakan keputusan untuk melambatkan laju saat memperkenalkan orang bukan dalam peran yang biasa mereka emban, tetapi sebagaimana Michelle merasakannya pada waktu itu—itu sebabnya Donald Trump di tahun 2011 dirujuk sebagai “pembawa acara-realita dan pengembang real estat New York”.

Aksioma di kalangan para penulis fiksi adalah bahwa di akhir sebuah cerita pendek atau novel, ia harus dirasakan oleh pembaca “mengejutkan tetapi tak terelakkan,” dan bukankah masa kepresidenan Obama sungguh mengejutkan tetapi tak terelakkan? Karena intensitas dan kedalaman rasisme Amerika, pemilihan seorang presiden kulit hitam sungguh mengejutkan. Namun karena sosok Barack Obama di masa lalu dan sekarang, kecerdasan dan karisma dan ketenangannya yang tak lazim, ia juga terasa tak terelakkan. Dan bukan saja sosok Barack Obama dahulu dan saat ini terkait secara tak terhindarkan dengan Michelle, meski Michelle memang membuat dirinya tampak memiliki selera hebat dalam memilih pasangan—dan karena itu, secara keseluruhan, bisa dikatakan memiliki pertimbangan baik. Akan tetapi karena, sebagaimana terungkap dalam Becoming, peran Michelle sebagai Ibu Negara terasa aneh tetapi sempurna seperti titik kulminasi dari seluruh pengalamannya di masa lalu: Dia dibesarkan di tengah keluarga Midwestern kelas-pekerja dan secara alamiah mampu terhubung dengan kebanyakan pemilih; dia juga sudah terbiasa dengan latar yang megah dan sering kali didominasi kaum kulit putih; terbiasa diamati, terbiasa direndahkan sekaligus dijunjung sebagai sosok panutan. Dia telah menempuh perjalanan jauh dari akarnya dan bertahan sebagai diri sendiri. Mengingat absurditas yang utama, bahkan kemustahilan, dari posisinya sebagai Ibu Negara—profesi tanpa bayaran yang terkemuka, berat dan kolot, yang semakin berat dalam segala segi bagi dirinya karena dia adalah seorang perintis bagi rasnya—aku tak yakin dia pernah menerima pujian akan betapa cekatan dia menangani peran itu. Sebagian besar orang yang kukenal, khususnya wanita, “menyukai” atau bahkan “mencintai” Michelle Obama. Akan tetapi, hal itu sebagian karena dia membuat peran Ibu Negara terlihat mudah dan menyenangkan. Aku ragu mereka menyadari betapa keras dirinya bekerja.

Bagi sebagian warga Amerika, dia menyebut dirinya dan Barack, “Kami sendiri adalah sebuah provokasi.” Namun mereka berdua telah memutuskan sejak lama “bahwa cara Barack dan aku menjalankan hidup kami akan menunjukkan kepada orang-orang kebenaran tentang diri kami yang sejati.” Itulah yang mereka perbuat di Gedung Putih. Kini—dengan cermat, menyentuh, dan bermartabat—inilah yang telah diperbuat Michelle dalam Becoming.

Sumber: www.vanityfair.com

Lebih menyerupai sebuah novel ketimbang memoar politik, buku sang Ibu Negara mengungkap penulisnya sebagai manusia seutuhnya.

The post Kekuatan yang Bermartabat, Menyentuh, dan Cermat dari karya Michelle Obama Becoming appeared first on Noura Books.

Membangun Citra Positif menjelang Pemilu

$
0
0

Judul       : Personal Branding Code

Penulis   : Silih Agung Wasesa

Penerbit : Noura Books, Jakarta

Cetakan  : Pertama, Oktober 2018

Tebal       : xii + 268 Halaman

ISBN        : 9786023854868

Selama ini, khususnya menjelang Pemilihan Umum (Pemilu), banyak tokoh seperti calon legislatif (caleg), Bupati, Walikota, Gubernur, hingga calon Presiden, yang berusaha menarik simpati masyarakat dengan aneka macam cara. Mereka berusaha membangun reputasi atau kepercayaan di hati masyarakat sehingga, masyarakat tertarik untuk memilihnya pada saat Pemilu kelak.

Hal semacam itu wajar dilakukan oleh para politisi, yaitu membangun personal branding. Sebenarnya, membangun reputasi ini bukan monopoli para politisi saja. Pejabat, pengusaha, perusahaan, hingga ibu rumah tangga, sebenarnya telah melakukan personal branding.

Personal Branding Code karya Silih Agung Wasesa ini membongkar rahasia bagaimana membangun reputasi positif dengan personal branding. Berbekal pengalaman 22 tahun sebagai konsultan branding beberapa pejabat, perusahaan, politisi, bahkan Presiden dan Ibu Negara, penulis memaparkan berbagai informasi berupa metode membangun citra positif dalam diri.

Penulis mengatakan, membangun citra positif dalam diri itu penting dilakukan dalam membina hubungan dan kerja sama dengan orang lain. Memang, selama ini masyarakat sangat akrab dengan istilah “pencitraan”, sehingga dalam pikiran mereka terpatri paradigma negatif dan menganggap semua yang berbau pencitraan itu sesuatu yang tidak baik atau polesan saja. Padahal, anggapan itu tidak benar.

Dalam buku ini, penulis membeberkan empat siklus personal branding yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja yang ingin membangun citra positif dalam diri mereka. Empat siklus tersebut adalah kompetensi, konektivitas, kreativitas, dan kontribusi.

Membangun personal branding itu butuh kompetensi, karena sekitar 50% energi personal branding akan disiapkan untuk membangun kompetensi ini. Menurut penulis, kompetensi itu ujung tombak personal branding. Kita harus bisa membuat perbedaan yang benar-benar tajam hingga dapat dengan mudah ditancapkan dalam pikiran target audiensi.

Silih Agung menjelaskan, kata kunci personal branding yang sering dilupakan adalah ketekunan melatih diri dan kegigihan menemukan keberuntungan. Keberuntungan itu tidak datang, tetapi dicari dengan usaha dan doa. Beberapa personal branding yang ditangani penulis sering kali gagal karena tidak adanya keinginan yang kuat dari seseorang untuk menjadi tekun dan gigih (hlm. 38).

Jika kompetensi berada dalam tataran pikiran, konektivitas dan kreativitas masuk dalam tindakan untuk membangun kedekatan dengan target audiensi. Dalam tataran strategis, kompetensi yang dikembangkan dalam pikiran kita, keberadaannya seperti sebuah bibit dalam kebun. Tanpa treatment apa pun, bibit tersebut tumbuh apa adanya, tetapi sulit untuk mengharapkan hasil optimal.

Jadi, kompetensi yang disiapkan secara matang tidak akan ada gunanya jika tidak diaktivasi dengan konektivitas dan kreativitas. Yang perlu diketahui adalah bahwa, fungsi utama koneksi adalah untuk memberikan jalan agar kompetensi yang seseorang miliki bisa dirasakan manfaatnya oleh publik.

Siklus lain dalam membangun personal branding adalah kreativitas. Inilah yang perlu dilakukan agar seseorang bisa membangun branding yang baik. Tak hanya dalam dunia industri, dalam personal branding, kreativitas sepenuhnya diperlukan untuk menciptakan keberlangsungan hidup reputasi yang telah dibangun. Dalam konteks yang lebih lugas, kreativitas merupakan bahan bakar pencipta sumber pendapatan personal branding. Dengan kreativitas mumpuni yang dimiliki seseorang, maka ia akan melakukan berbagai kontribusi yang bermanfaat bagi sekitar.

Buku 268 halaman ini merupakan hasil pengalaman penulis menangani berbagai klien yang telah berhasil membangun personal branding. Ada banyak contoh kasus yang dibeberkan penulis, sehingga pembaca bisa belajar atau memodel bagaimana membangun reputasi positif dalam membangun hubungan atau kerja sama dengan banyak orang. (*)

*) Untung Wahyudi, penulis lepas, tinggal di Sumenep

The post Membangun Citra Positif menjelang Pemilu appeared first on Noura Books.

5 Novel Terjemahan Korea yang Wajib Dibaca! Nomor 3 Bikin Baper

$
0
0

Semua orang sekarang banyak yang tahu Korea. Apalagi drama koreanya. Yup! Bikin baper. Selain serial drama Korea yang bikin baper, beberapa buku ini juga wajib kamu punya lho. Apa aja sih bukunya? Yuk simak artikel ini ya!

1. Sung Kyun Kwan Scandal (Jung Eun Gwol)

Mengisahkan tentang seorang gadis yang tidak suka melakukan kegiatan yang biasa dilakukan gadis seusianya. Kim Yon-Hee lebih memilih belajar filsafat Konfusius dan politik ketimbang merajut atau memasak bersama ibunya. Namun, karena pada masa itu wanita tidak diperbolehkan sekolah atau bekerja, Yoon-hee pun menyamar menjadi pria, menggunakan nama adik laki-lakinya yang terbaring lemah karena sakit, untuk mendapatkan pekerjaan.

Suatu saat Yoon-hee tergiur dengan pekerjaan sebagai geobyeok—joki ujian, yang meski ilegal tapi bisa menghasilkan banyak uang. Karena salah satu syarat menjadi geobyeok adalah pernah lulus ujian negara, Yoon-hee pun nekat mendaftarkan dirinya dan ikut ujian Negara dengan menggunakan nama adiknya, Kim Yoon-shik.

Diwarnai dengan kisah-kisah humoris dan romansa klasik Korea, novel ini akan membawa anda ke dalam dunia Sungkyunkwan di era Joseon yang penuh intrik.

2. Angel of Morning Star Club (Lim Se Hyuk)

Novel ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Lim Hwi Chan yang pernah masuk penjara karna kesalahan yang tidak dia lakukan. Pemuda yang jujur tetapi mudah emosi sehingga terjebak dalam peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya sendiri.

Kesulitan banyak dihadapi Lim Hwi Chan di kehidupan sosialnya hanya karena dia seorang narapidana. Meskipun sudah keluar dari penjara, kehidupannya juga tidak menjadi lebih baik. Sehingga sebuah klub khusus bernama Morning Star Club berhasil mengubahnya menjadi manusia yang lebih baik.

Lewat kegiatan sosial yang dilakukan selama di klub tersebut Lim Hwi Chan belajar banyak keahlian dan berteman dengan banyak orang yang berbeda.

Apakah mantan narapidana tersebut akan terus menderita?

3. To You (Ha Tae-Woan)

Kecemburuan itu sebanding dengan besarnya sebuah cinta.
Jadi, jangan khawatir terhadap kekasihmu yang mudah cemburu.
Berpikirlah,”Oh, ternyata sebesar ini dia mencintaiku.”

Kesungguhan yang Tae-Woan curahkan dalam tulisannya terasa sangat realistis dan tanpa basa-basi. Karyanya bisa menjadi sebuah motivasi untuk kisah cinta seseorang, penghiburan untuk mereka yang mengalami perpisahan, atau kritik pedas dan nasihat tentang masa depan.

Dia percaya akan kekuatan yang mengalir di seluruh tulisan ini, yang terkadang sangat pendek dan terkadang sangat panjang. Dia yakin tiap kesungguhan itu mampu tersalurkan ke seluruh isi buku ini, yang bisa kau anggap sebagai petunjuk arah bagi kehidupanmu yang terasa kacau.

4. Who Are You? (Lim Eun Hee)

Selalu memimpikan seorang pria yang tak dikenalnya membuat Song Ah Ri tidak bisa lepas dari ramalan mimpi tersebut.

Song Ah Ri diputuskan oleh kekasihnya Ah Sung yang telah menemaninya selama tiga tahun. Terlarut dalam kesedihannya tidak membuatnya lupa akan sahabatnya yang baik hati Won Hee, saat diperjalanan kedua wanita tersebut melihat seorang pria berada diatas tandu ambulance.

Yoon Ian, pria yang menghantui Song Ah Ri dalam mimpi dan pertemuannya hari itu nggak berhenti sampai di situ.

Kisah cinta yang rumit ini, bisakah dilewati oleh Song Ah Ri ?

5. Crying Doesn’t Change A Thing (Park Joon)

Buku yang tepat untuk kamu. Buku yang selalu ada di sisi kamu.

Terkadang hidup itu sulit, bukan? Ini aneh?

Ini adalah buku yang berpura-pura mengetahui segala sesuatunya sesukanya, dan secara acak, dengan acuh tak acuh, meminta kamu untuk hanya makan bersama.

Buku ini akan segera diterbitkan oleh Noura Publishing paling lambat awal Juni 2019.

Sekadar informasi, buku ini masih ada hubungannya dengan drama Because This Is My First Life lho!

Itu dia 5 novel terjemahan Korea yang wajib dibaca. Apalagi nomor 3, bikin baper parah.

The post 5 Novel Terjemahan Korea yang Wajib Dibaca! Nomor 3 Bikin Baper appeared first on Noura Books.

Memilih Cinta Sebagai Juru Bicara (Agama) Islam

$
0
0

Rumi bersama puisinya adalah juru bicara Islam. Ia dikenal hampir di seluruh belahan bumi. Puisinya tak hanya soal keindahan dan permainan kata-kata, namun juga sarat dengan  makna dan pengalaman spiritual. Boleh jadi Rumi adalah satu di antara sekian juru bicara Islam yang paling berpengaruh di dunia Barat. Kadang, malah, puisinya yang terhimpun dalam konun berjudul Matsnawi lebih dikenal dan  bisa diterima dan menyentuh banyak hati ketimbang dakwah terbuka.

Karya-karya Rumi sampai saat ini masih terus dikaji dan diterjemahkan, pun di Indonesia. Saat ini, jika berbicara tentang Rumi di Indonesia kita tak bisa untuk tidak menyebut Nur Jabir dengan Rumi Institute atau Kuswaedi Syafii, penulis cum agamawan, yang menghibahkan diri untuk mendaras dengan serius karya-karya rumi lewat pesantren yang didirikan, PP. Maulana Rumi.

Selain dua nama di atas, nama yang tak boleh dilewatkan adalah Haidar Bagir, Filontropis yang juga bos dari Mizan Grup itu punya konsen yang dalam terhadap Rumi dan gagasan-gagasannya. Hal itu bisa dilihat dengan terbitnya  buku yang berjudul Belajar Hidup dari Rumi (Noura, 2015) dan Mereguk Cinta Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Pelembut Jiwa (Noura, 2016). Pada Ramadhan tahun 2018 lalu, selama 30 hari penuh, Haidar mendaras puisi-puisi Rumi lewat akun media sosial Mizan Wacana dan Noura Publishing.

Awal tahun 2019 ini, Haidar kemali melahirkan buku berkaitan dengan Rumi dan puisi-puisinya, Dari Allah Menuju Allah: Belajar Tasawuf dari Rumi (selanjutnya disebut DAMA). Tak seperti dua buku terdahulunya tentang Rumi dan puisinya, dalam buku DAMA ini Haidar mensyarahi puisi-puisi Rumi dengan lebih panjang dan elaboratif. Ikhtiar yang dilakukan Haidar ini tentu membantu awam untuk menyelami samudera perenungan agama yang telah dijahit Rumi lewat puisi.

Puisi Rumi, menurut Haidar, tak pernah kering timbunan makna tasawuf. Meski, menurut Haidar, Rumi tak seperti Ibn Arabi yang menulis berjilid-jilid buku mengenai tawasuf falsafi.  Lewat buku DAMA ini, Haidar ingin memperlihatkan pada kita bahwa Rumi adalah seorang salik yang tekun .

Dicipta Karena Cinta

Perjalanan buku ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, yang hampir bisa dipastikan, pernah mampir di kepala kita semua. Mengapa Tuhan menciptakan manusia? Rumi menjawab pertanyaan ini dengan sebuah puisi yang indah:

Dulu Aku perbendaharaan rahasia kebaikan dan kedermawanan,

Kurindu perbendaharaan ini dikenali,

Maka kucipta cermin

Potongan puisi di atas, tak bisa dipungkiri, terilhami dari hadis Qudsi yang berbunyi: Dulu aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Aku rindu untuk dikenali. Maka Kucipta ciptaan, agar aku dikenali (hal. 33). Berpegang dengan hadis Qudsi tersebut, para sufi meyakini bahwa penciptaan alam semesta, termasuk manusia, adalah karena kecintaan Tuhan pada makhluk dan kerinduan-Nya untuk diketahui oleh makhluk. Pada setiap makhluk yang diciptakan Tuhan tersemayam di dalamnya tiupan rahman (kasih sayang).  Tuhan, meminjam istilah Ibn Arabi, adalah Nafas ar-Rahman yaitu napas-Nya Allah yang menjadi bahan penciptaan semesta (hal. 155). Mudahnya adalah manusia semua diciptakan karena cinta.

Manusia adalah cermin Tuhan begitu kata Rumi. Diksi cermin yang dipakai Rumi tak lepas dari pemahaman bahwa manusia sebagai madzhar (wadah) yang sempurna untuk tajalli (emanasi)  Tuhan. Dalam satu hadis Qudsi, Allah berfirman: Alam semesta dan isinya tak mampu menampungku, yang bisa menampungku adalah hati mukmin. Meski manusia adalah tajalli Tuhan tapi manusia bukanlah Tuhan itu sendiri, ia hanya bisa menjadi bagian Tuhan.  Semata-mata bahwa wujud manusia pinjaman dari wujud Tuhan.

Perjalanan (Ruhani) Menuju Tuhan

Betapapun hebatnya manusia, di relung hatinya yang paling dalam, akan tetap merindukan kekasih yang telah menciptakannya (Tuhan). Tak heran jika di atas pencapaian duniawi, jiwa (manusia) tetap mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan dan kerinduan (yang kadang tak bisa dijelaskan kecuali yang merasakannya). Oleh karenanya, kemudian kita terus mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu.

Dari mana aku datang, dan apa yang harus kulakukan?

Aku tak tahu.

Jiwaku berasal dari suatu tempat

di sana,

dan kuingin berakhir juga di sana

 

Pencarian jiwa pada sumbernya, Tuhan,  adalah alamia hetiap jiwa akan secara alamiah mencari sumbernya, yakni Tuhan.

Kebahagiaan tertinggi jiwa adalah bisa kembali menyatu pada pemiliknya. Serupa nay (seruling) yang mengeluarkan suara yang menyayat dan mendayu-dayu adalah sebentuk kerinduannya karena tercerabut dari kumpulan bambu di mana ia berasal. Puisi tentang nay ini bahkan menjadi puisi pembuka dalam matsnawi. Para peneliti Rumi menyebut susunan Matsnawai tak ubahnya susunan kitab suci Al Quran. Jika Al Quran dimulai dengan bacalah, Matsnawai dumulai dengan dengarkanlah.

Benar belaka bahwa Kerinduan adalah modal utama manusia untuk melakukan perjalanan ( suluk ) menuju Tuhan. Tanpa kerinduan yang dalam mustahil bisa menjalani perjalanan ruhani yang panjang lagi berat ini. Bisa jadi, bila modal kerinduan tak tebal, maka perjalanan menuju ruhani Tuhan akan berhenti di tengah jalan.

Perjalanan manusia berawal dari cinta Tuhan dan ditiupkan dari padanya napas Tuhan. Dalam pengembaraan manusia di dunia ini, (jiwa) manusia itu merindu untuk bertemu kembali pada Tuhan. Perjalanan ‘pulang’ ini membutuhkan kerahiman dan pertolongan Tuhan. Sebab hanya dengan Rahim dan pertolonganNya-lah perjalanan ini bisa dilalui.

Menjadikan Cinta Sebagai Juru Bicara Agama

Di tengah-tengah makin menguatnya politik identitas dan puritanitas yang ada di Indonesia saat ini, DAMA yang dianggit oleh Haidar berhasil menampilkan wajah lain dari Islam. Bila selama ini Islam hanya didekati dengan pendekatan fiqih yang cenderung melihat sesuatu dengan kacamat hitam-putih, halal-haram, surga-neraka. Maka, buku DAMA ini mencoba menawarkan pendekatan tasawuf dalam menjalani agama.

Dengan tasawuf, Islam, yang oleh Ibn Arabi disebut sebagai agama cinta, menjadikan wajah Tuhan tak lagi seram, yang hanya dilihat sebagai penghukum atau pemberi, pemarah atau pembalas dendam. Tuhan, dalam tasawuf, adalah sumber cinta dan kerinduan manusia untuk menjalani hidup. Tuhan yang ingin dikenal sebagai Yang Pengasih, Penyayang, Maha Pengampun dan Maha Penutup Aib, da sebagai pemilik kebaikan dan kedermawanan.

Kita patut berterima kasih pada Haidar yang telah menghadirkan Rumi dengan puisinya di tengah-tengah kita saat ini,  Di zaman pasca kebenaran,  di mana dengan mudah seseorang atau kelompok mengorbankan agama untuk kepentingan sesaat. Melalui Rumi dan puisinya ini, kita sadar bahwa perlu kiranya mengangkat (kembali) cinta sebagai juru bicara (agama) Islam. [Aida]

The post Memilih Cinta Sebagai Juru Bicara (Agama) Islam appeared first on Noura Books.

Buat Dirimu Lebih OK dengan 5 Resep dari Bliss Bakery

$
0
0

Baca buku bukan hanya dapat wawasan dan hiburan lho, tapi juga bisa membentuk kepribadian yang oke punya. Contohnya buku seri Bliss Bakery. Bukan hanya beragam resep kue yang ajaib dan lezat, tapi Bliss Bakery juga punya resep kepribadian dan pendidikan karakter yang bagus banget kita tiru. Apa saja? Yuk, simak.

1. Harta yang paling berharga adalah keluarga
Selama berusaha menjaga dan mempraktikkan isi buku resep Bliss Cookery Booke, Rose tidak pernah sendirian. Thyme Bliss (Ty), Sage Bliss (Sage), dan Parsley Bliss (Leigh) selalu ada di sisinya. Begitu pun sebaliknya, ketika harus memilih antara Bliss Cookery Booke dan keselematan ketiga saudaranya, Rose pasti lebih memilih saudaranya karena keluarga adalah segalanya!

2. Pentingnya Kerja Sama
Rose dan saudara-saudaranya selalu bekerja sama untuk menghadapi suatu masalah. Dalam berbagai momen, sering kali diceritakan bahwa salah satu dari mereka pandai melakukan suatu hal, sedangkan yang lainnya justru lebih pandai dalam hal lain. Perbedaan ini biasanya mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk saling menolong satu sama lain ketika sedang menyelesaikan suatu permasalahan.

3. Menemukan Jati Diri
Rose, putri sulung di Keluarga Bliss, pada awalnya sering membandingkan dirinya dengan saudara-saudaranya yang—menurutnya—lebih berbakat. Namun seiring berjalannya cerita, Rose menemukan bahwa bakatnya adalah membuat kue. Sejak saat itu, Rose percaya bahwa dirinya pun memiliki bakat dan kelebihan yang membuatnya unik jika dibandingkan dengan ketiga saudaranya.

4. Teguh Pendirian
Saat pertama kali mengetahui buku resep ajaib milik kedua orang tuanya, Rose beberapa kali mendapat kesempatan untuk melakukan hal-hal buruk dengan menggunakan sihir. Namun pada akhirnya, dia memutuskan untuk menghormati nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orangtuanya. Ia pun meneguhkan pendiriannya dan terus mengingatkan dirinya agar tidak menggunakan sihir demi kepentingan pribadi semata.

5. Jujur
Sebuah hubungan haruslah dimulai dari kejujuran, tidak boleh ada rahasia yang membuat satu sama lain curiga. Hal ini tampak pada hubungan Rose dengan Devin yang terancam berantakan karena Rose tidak ingin menguak rahasia keluarganya. Rose bersikeras menyembunyikan fakta bahwa kue-kue buatannya mengandung unsur sihir, padahal dia tahu Devin bisa membantu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Beruntung, Rose cepat sadar dan segera memperbaiki kesalahannya.

Nah, menarik banget kan? Selain kelima resep kepribadian di atas, masih banyak resep menarik lain yang diangkat oleh Kathryn Littlewood dalam seri Bliss Bakery yang di Indonesia sudah lima buku yang terbit lho. [Rifda/sumber: Lammylou]

The post Buat Dirimu Lebih OK dengan 5 Resep dari Bliss Bakery appeared first on Noura Books.


Distopia, Genre Paling Hits Saat Ini

$
0
0

Distopia merupakan salah satu genre fiksi yang cukup populer di kalangan para pembaca fiksi, terutama bagi yang menggemari fantasi dan fiksi ilmiah. Meskipun lebih familier di kalangan penggemar novel fantasi dan fiksi ilmiah, banyak yang menganggap distopia sebagai salah satu cabang fiksi realistis. Hal ini karena beberapa novel distopia yang terkenal belakangan ini banyak mengangkat isu-isu yang relevan dengan keadaan dunia pada masa kini.

Apa itu Distopia?
Kata ‘distopia’ sebenarnya merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan keadaan yang berkebalikan dengan utopia (ideal) dan biasanya menceritakan tentang kehidupan masyarakat fiksional yang hidup di dunia yang lebih buruk dari dunia tempat tinggal kita. Keadaan distopia ini sering kali menggambarkan berbagai situasi di masa mendatang, seakan memberi peringatan kepada para pembaca tentang betapa mengerikannya dunia ini jika sebuah propaganda tertentu mengambil alih kontrol pemerintahan.

Secara sederhana, distopia mengacu pada sebuah dunia yang pada awalnya tampak sempurna (utopia) namun kemudian tampak penuh dengan ketidaksempurnaan karena adanya kesenjangan sosial dan ekonomi. Dalam beberapa novel distopia, keadaan pra-distopia biasanya digambarkan sebagai chaos (kekacauan) sehingga menyebabkan adanya bentuk pemerintahan baru yang lebih sistematis tapi cenderung bersifat opresif. Namun dalam beberapa karya, ada juga yang meniadakan eksistensi pemerintahan dan mengganti kesenjangan sosial/ekonomi dengan kondisi kemiskinan yang merata.

Foto: gamerevolution.com

Konflik dalam novel distopia pada umumnya diawali dengan bencana alam atau keadaan overpopulasi yang berujung pada penindasan, pemberontakan, perang, dan revolusi. Meskipun bermula dari sistem pemerintahan yang terstruktur, akan muncul kekecewaan-kekecewaan terhadap cara penguasa memperlakukan rakyat. Dari sanalah timbul keinginan untuk mengubah kondisi yang ada dan menciptakan suatu keadaan yang lebih ideal (utopia), baik dari segi politik maupun sosial-ekonomi. Namun biasanya, baik pihak penguasa maupun oposisi sama-sama bersikeras bahwa deskripsi utopia yang diusung oleh pihak lawan sebenarnya memiliki konsekuensi yang jauh lebih buruk bagi kehidupan banyak orang.

Fungsi Distopia

Oleh karena berkaitan dengan isu politik, sosial, dan ekonomi, latar waktu dalam situasi distopia biasanya tidak jauh berbeda dengan situasi dunia saat ini. Ini pula yang membuat sebagian orang menilai bahwa distopia lebih dekat dengan fiksi realistis daripada fiksi ilmiah atau bahkan fantasi. Salah satu penyebabnya adalah fungsi karya distopia, yang bukan hanya sekadar tulisan hasil imajinasi, namun juga sarana untuk mengungkapkan opini sang penulis.

Foto: www.duniaku.net

Melalui distopia, penulis dapat mengekspresikan kekhawatiran mereka terhadap isu-isu kemanusiaan dan sistem sosial-ekonomi yang berlaku. Penulis menggunakan distopia sebagai cara untuk mendiskusikan kondisi terkini dan mengungkapkan beragam bentuk permasalahan yang mungkin terjadi di masa depan. Melalui karya distopia, penulis juga dapat menunjukkan berbagai kesalahan yang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itulah, distopia sering dianggap sebagai bentuk kritik dan peringatan tersirat bagi pemerintah yang berkuasa dan sistem yang berlaku. Dengan demikian, peran distopia dalam karya-karya sastra adalah untuk memberikan edukasi dan menanamkan kesadaran bagi para pembaca akan hal-hal penting yang–menurut beberapa orang, mungkin terlalu berat untuk dibaca dalam bentuk penjelasan naratif (nonfiksi).

Wah, ternyata novel distopia bukan sekadar ragam hiburan ya! [Rifda]

The post Distopia, Genre Paling Hits Saat Ini appeared first on Noura Books.

Alasan Novel Distopia Disukai Pembaca Muda Nomor 3 Nggak Kamu Sangka

$
0
0

Salah satu kategori novel yang memiliki tren genre musiman adalah novel dengan target pembaca berusia dewasa muda (young adult). Selama bertahun-tahun, rak young adult di toko buku biasanya dipenuhi oleh kisah-kisah romansa, baik yang melibatkan unsur fantasi atau yang sepenuhnya berlatar dunia nyata. Namun belakangan ini koleksi young adult juga diramaikan dengan kisah-kisah distopia, terutama sejak kesuksesan seri The Hunger Games karya Suzanne Collins. Beberapa seri distopia yang cukup populer di Indonesia adalah Legend (Marie Lu), The Maze Runner (James Dashner), Red Queen (Victoria Aveyard), dan Divergent (Veronica Roth).

Red queen-mare burrow

Sebenarnya tema distopia, yang latarnya dikisahkan terjadi pada masa pasca-apokalips, bukanlah hal yang baru. Beberapa karya klasik yang sudah menyinggung tema ini adalah A Wrinkle in Time (1962) karya Madeleine L’Engle, House of Stairs (1974) karya William Sleator, dan tentu saja yang paling terkenal: The Giver (1993) karya Lois Lowry. Di kalangan pembaca young adult, muncul pula beberapa nama penulis yang menyusul kepopuleran Suzanne Collins seperti Patrick Ness (Chaos Walking), Philip Reeve (Mortal Engines), hingga Scott Westerfield (Uglies).

5 Alasan Kenapa Mortal Engines Termasuk Film Akhir Tahun yang Wajib Kamu Tonton!

Kenapa Genre Distopia Disukai Pembaca Muda?

Tentunya ada banyak alasan. Berikut tiga alasan utama:

  1. Alur cerita novel distopia yang menarik. Deskripsi latar distopianya memang penting, tapi tentu saja tidak sepenting alur cerita. Meskipun latar ceritanya sering menggunakan unsur-unsur fiksi ilmiah, kebanyakan alur fiksi bergenre distopia biasanya lebih mirip dengan kisah dongeng di mana terdapat satu ‘pahlawan’ yang digadang untuk melakukan perubahan revolusioner.
  1. Nyambung dengan poin 1, karakterisasi tokoh ‘pahlawan’ dalam novel distopia beragam. Sebagian memang mengajukan diri untuk memimpin perubahan, sedangkan sebagian yang lain justru terpaksa berada di garis depan karena tuntutan keadaan. Biasanya, tokoh ini harus meninggalkan kehidupan normalnya untuk memasuki ‘kehidupan’ lain yang penuh bahaya, pengkhianatan, bahkan pertumpahan darah. Selain itu, tokoh ini juga biasanya masih berusia muda dengan orang dewasa sebagai pihak penindas yang opresif.
  1. Adanya kontrol yang ketat oleh pemerintah terhadap masyarakat. Kecenderungan situasi tersebut kemungkinan besar dianggap menjadi cerminan kondisi yang dirasakan oleh kebanyakan remaja berusia dewasa muda, baik di rumah maupun di sekolah, dalam lingkup pertemanan sehari-hari maupun dalam kehidupan sosial secara umum.
  1. Deskripsi ceritanya cukup mendalam. Biasanya ini untuk menunjukkan konflik batin dan perkembangan psikologis dalam diri para tokoh. Namun hal ini juga yang membuat para pembaca young adult merasa dekat secara emosional, karena sama-sama memiliki kekhawatiran terkait hubungan keluarga dan persahabatan, masalah cinta dan pengkhianatan, perasaan duka dan kehilangan, dan lain-lain.
Foto: www.undertone.com

Berdasarkan alasan-alasan di atas, novel berlatar distopia memang sekilas terkesan kelam dan penuh dengan kekacauan. Namun sebenarnya fokus dalam novel distopia justru terletak pada ‘simbol harapan’ di tengah kekacauan, yang biasanya direpresentasikan oleh sosok pahlawan yang menjadi tokoh utama dalam cerita. Dengan kata lain, novel distopia sesungguhnya merupakan pengingat bahwa di tengah dunia yang tampak serba kelam dan penuh kekacauan ini, selalu ada sebatang lilin yang dapat dinyalakan sebagai penerang jalan. [Rifda/sumber: Guardian]

The post Alasan Novel Distopia Disukai Pembaca Muda Nomor 3 Nggak Kamu Sangka appeared first on Noura Books.

4 Pelajaran Cinta dari Seri Red Queen

$
0
0

Selain latar distopia dan intrik politik, seri Red Queen juga penuh dengan kisah romansa yang menggetarkan hati. Hubungan percintaan antar tokoh menjadi salah satu pemanis yang menarik perhatian pembaca. Berikut ini adalah empat hal tentang cinta yang bisa kamu petik dari Seri Red Queen.

  1. Cinta memang bisa membutakan, tapi tidak semua orang buta karena cinta.

Berkebalikan dengan pendapat kebanyakan orang, Victoria Aveyard justru menunjukkan bahwa cinta tidak selalu membutakan. Mare, tokoh utama dalam seri Red Queen, pernah meyakinkan Cal untuk bergabung dengan Barisan Merah. Sebaliknya, Cal pun pernah meyakinkan Mare untuk meninggalkan Barisan Merah dan bergabung dengannya sebagai pemimpin Kerajaan Norta. Meski sama-sama memendam perasaan terhadap satu sama lain, tak satu pun strategi mereka berhasil. Ketika dihadapkan pada tanggung jawab besar dan masa depan orang banyak, baik Mare mau pun Cal mampu berpikir logis dan menolak dibutakan oleh cinta. Hal ini tentu mengingatkan kita untuk berpikir lebih matang ketika dihadapkan dengan situasi serupa dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Setiap manusia punya rasa cinta, bahkan mereka yang tampak jahat.

Dalam seri Red Queen, tidak ada yang sepenuhnya berwarna hitam ataupun sepenuhnya berwarna putih. Pihak yang tampak baik kadang harus mengesampingkan moral untuk mengambil keputusan mengerikan, pihak yang digambarkan penuh kekejaman pun terkadang menunjukkan kebaikan hati untuk orang-orang yang mereka sayangi.

Evangeline, misalnya, yang muncul sebagai salah satu tokoh antagonis dalam buku pertama (Red Queen) ternyata punya alasan di balik semua sikapnya. Raja Tiberias, ayah Cal dan Maven, ternyata punya rasa cinta yang besar pada mendiang istri pertamanya. Maven, yang ternyata mampu melakukan hal tak terduga, cenderung mengambil keputusan yang lebih logis ketika dihadapkan dengan Mare, pujaan hatinya.

  1. Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta antara ibu dan anaknya.

Hubungan ibu dan anak memang tidak memiliki porsi yang banyak dalam seri Red Queen, namun bukan berarti tidak ada sama sekali. Meski telah lama berpisah, Cal masih sangat menyayangi mendiang ibunya, Ratu Coriane. Maven pun diceritakan punya hubungan yang rumit dengan ibunya, Ratu Elara. Maven tahu bahwa semua tindakan yang dilakukan oleh Ratu Elara adalah bentuk usaha seorang ibu untuk mengantarkan putranya ke posisi tertinggi di Kerajaan Norta.

 

  1. Hubungan yang tidak dilandasi rasa cinta takkan bertahan lama.

Hal yang tidak pernah absen dalam seri Red Queen adalah perjodohan. Mare terpaksa dijodohkan dengan salah satu Pangeran Norta setelah pertama kali menunjukkan kekuatannya di hadapan Kaum Perak, Cal menerima perjodohan dengan Evangeline sebelum diangkat sebagai penerus tahta Norta, Maven pun menggantikan posisi Cal sebagai tunangan Evangeline sebelum akhirnya bertunangan dengan putri dari Kerajaan Lakelander. Sayangnya (atau untungnya?), semua pertunangan tersebut tidak berakhir bahagia. Sebuah bukti bahwa segala bentuk hubungan yang tidak dilandasi oleh rasa cinta, tak akan bertahan lama. [Rifda]

The post 4 Pelajaran Cinta dari Seri Red Queen appeared first on Noura Books.

5 Fakta Mengejutkan yang Diungkap Michelle Obama dalam Becoming

$
0
0

Melalui Becoming, Michelle Obama mengungkapkan banyak hal yang tidak terduga. Mantan ibu negara AS ini tidak takut untuk menceritakan berbagai hal. Dari pengalaman pahitnya sebagai seorang individu hingga kesulitan yang dihadapinya bersama suaminya, Barack Obama. Berikut adalah lima hal mengejutkan yang diungkapkan oleh Michelle Obama.

  1. Michelle tidak yakin Obama akan terpilih sebagai presiden.

Meskipun banyak yang telah menunjukkan dukungan kepada suaminya, Michelle masih mengkhawatirkan ketegangan rasial di AS. Bagaimanapun juga, Michelle tidak yakin kalau orang berkulit hitam seperti Obama dapat memenangkan pemilihan presiden. Dalam sebuah wawancara dengan Good Morning America, Michelle menjelaskan bahwa saat itu dia melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang berkulit hitam di AS: “Kami takut berharap karena memang terlalu sulit membayangkan kalau suatu saat, negara yang selama ini menekan orang-orang berkulit hitam, dapat dipimpin oleh pria berkulit hitam.”

2. Michelle pernah keguguran, hingga akhirnya melakukan program bayi tabung.

Sekitar 20 tahun lalu setelah mencoba berbagai cara untuk memiliki anak, Michelle akhirnya mendapatkan hasil positif. Namun sayangnya, ia mengalami keguguran. Meski ia tahu bahwa itu bukanlah kesalahannya dan bahwa keguguran bisa terjadi pada wanita manapun, ia tetap saja merasa sedih dan gagal karena tidak tahu apa penyebab kegugurannya. Pada masa-masa tersebut, Michelle mengaku kesepian karena tidak bisa membicarakan tentang hal itu kepada suaminya. Michelle kemudian juga mengungkapkan bahwa ia akhirnya melakukan program bayi tabung (IVF) untuk mengandung kedua putrinya, Malia dan Sasha.

3. Michelle dan Obama pernah menghadiri beberapa sesi konseling.

Tak lama setelah kelahiran putri kedua, Michelle dan Obama pergi menghadiri beberapa sesi terapi untuk pasangan suami-istri. Alasannya sederhana, seperti kebanyakan pasangan lain: karena mereka jarang sekali bertemu. Karier politik Obama melejit dan mengharuskannya bekerja lebih keras, sedangkan Michelle kerap kali merasa rapuh setiap kali terpisah dari suaminya. Hal ini pada awalnya tidak dapat dipahami oleh suaminya, yang tumbuh besar tanpa seorang ibu namun paham bahwa ibunya senantiasa menyayanginya. Bagi Michelle, rasa cinta harus hadir dalam jarak dekat, misalnya dengan hadir di ruang makan. Sesi-sesi terapi itu sangat membantu keduanya dalam menyikapi perbedaan tersebut.

Baca juga: Kekuatan yang Bermartabat, Menyentuh, dan Cermat dari karya Michelle Obama Becoming

4. Tragedi ‘Sandy Hook’ adalah salah satu masa-masa sulit Obama sebagai Presiden AS.

Meskipun jarang melihat suaminya saat sedang bekerja (sebagai Presiden AS), Michelle mengungkapkan satu momen di mana Obama meminta kehadirannya. Hal itu terjadi pada Desember 2012, ketika seorang pria berpakaian hitam dan bersenjatakan dua pistol memasuki Sekolah Dasar Sandy Hook (Newtown, Connecticut) dan membunuh 20 murid dan 6 guru. Kejadian itu sangatlah mempengaruhi kondisi psikis Obama, hingga ia ingin bertemu dengan istrinya. Menurut Michelle, hanya sekali itulah ia dipanggil secara khusus untuk menemui suaminya, selama delapan tahun masa kepresidenan suaminya.

5. Michelle tidak akan terjun ke ranah politik.

Pada bagian akhir Becoming, Michelle menyatakan dengan jelas bahwa ia sama sekali tidak memiliki niat untuk berkarier di dunia politik. Ia percaya ada cara lain untuk berkontribusi dalam demokrasi. Menurutnya, kita harus ingat pada kekuatan sebuah vote. Ia pun akan terus berusaha mendukung hal yang lebih kuat dan lebih berpengaruh luas daripada pemilu, presiden, atau artikel berita—yaitu optimisme. Bagi Michelle, sikap optimis adalah suatu bentuk keyakinan untuk melawan rasa takut.

Selain kelima hal di atas, masih banyak hal-hal tak terduga yang diungkapkan oleh Michelle Obama dalam memoarnya, Becoming. [Rifda: sumber: Independent]

Baca juga: 7 Fakta Tentang Michelle Obama Penulis Memoar Terlaris di Dunia

The post 5 Fakta Mengejutkan yang Diungkap Michelle Obama dalam Becoming appeared first on Noura Books.

5 Fakta The Shawshank Redemption yang Tak Banyak Diketahui Orang

$
0
0

The Shawshank Redemption merupakan salah satu film terbaik sepanjang masa hingga saat ini. Film yang disutradarai oleh Frank Darabont serta dibintangi oleh Tim Robbins dan Morgan Freeman ini mengisahkan Andy Dufresne, seorang bankir yang menghabiskan hampir dua puluh tahun di Shawshank State Prison atas pembunuhan istri dan selingkuhannya, meski ia bersikeras tidak melakukannya.

Gambar: Amazon.com

Film ini telah mengantongi beberapa nominasi, termasuk di antaranya adalah tujuh nominasi Academy Awards1995. Meski akhirnya tidak mengantongi satu pun piala Oscar, tapi The Shawshank Redemption memiliki nilai aset tertinggi dalam arsip Warner Bros yakni sebesar US$1,5 miliar (Rp21,3 triliun). Nah, di balik ketenaran film yang luar biasa ini, ternyata masih ada beberapa fakta yang tidak banyak diketahui orang, lho!

Tidak Laku Saat Pertama Tayang

Film ini memang sudah mendapat banyak ulasan positif sejak pertama kali rilis pada tahun 1994, tapi ternyata tidak terlalu memuaskan dari segi pendapatan (hanya US$16 juta atau Rp227,7 miliar). Ada beberapa alasan yang diduga menyebabkan hal ini, dari persaingan film lain (Pulp Fiction & Forrest Gump), sedikitnya tokoh wanita di film ini, kurangnya minat masyarakat terhadap film tentang penjara, hingga judul yang tidak menarik. Meskipun memang setelah mendapat tujuh nominasi, pendapatan film ini meningkat hingga US$58,3 juta (Rp830 miliar).

Diadaptasi dari Buku Stephen King, Different Seasons

Film ini merupakan adaptasi dari karya Stephen King yang berjudul Rita Hayworth and Shawshank Redemption, yang terbit dalam sebuah kumpulan novela berjudul Different Seasons. Selain Rita Hayworth and Shawshank Redemption, dua cerita lain juga sudah pernah difilmkan, yaitu The Body yang difilmkan pada tahun 1986 dengan judul Stand by Me dan Apt Pupil yang difilmkan pada tahun 1998 dengan judul yang sama. Cerita terakhir, The Breathing Method, dikabarkan sedang digarap oleh Scott Derrickson dan akan segera diadaptasi ke layar lebar pada tahun 2020 nanti.

Hampir Diperankan oleh Aktor yang Berbeda

Rob Reiner, salah satu pendiri studio film Castle Rock Entertainment yang memproduksi film ini, adalah sutradara film adaptasi karya Stephen King (Stand by Me). Ketika Frank Darabont “membawa” The Shawshank Redemptionke studio ini, Reiner pada awalnya sempat mengajukan nama Tom Cruise untuk memerankan Andy Dufresne dan Harrison Ford untuk memerankan Red.

Baca Juga: 5 Fakta Mengejutkan yang Diungkap Michelle Obama dalam Buku Becoming

Judul Aslinya Harus Diganti Agar Tidak Ambigu

Frank Darabont menulis naskah film ini kurang lebih delapan minggu sebelum membawanya ke Castle Rock Entertainment. Saat itu, ia memutuskan untuk menghapus nama “Rita Hayworth” karena banyak aktris yang mengajukan diri untuk menjadi tokoh utama. Mereka mengira film ini merupakan biopik seorang wanita bernama Rita Hayworth!

Stephen King Tidak Pernah Mengambil Royalti Film

Foto: nytimes.com

Pada akhir 1980-an, Darabont membeli hak adaptasi Rita Hayworth and Shawshank Redemption(1982). Berdasarkan laporan The Wall Street Journal yang dikutip oleh NME, saat itu Stephen King hanya diberi cek royalti senilai US$5 ribu. Namun bertahun-tahun setelah film ini dirilis, Stephen King ternyata tidak pernah mencairkan cek tersebut. Ia dikabarkan telah membingkai cek itu dan mengirimkannya kembali kepada sang sutradara.

Wah, sepertinya tidak banyak yang tahu kalau The Shawshank Redemption diadaptasi dari karya Stephen King ya? Tapi tenang saja, terjemahan bukunya sudah terbit, lho! [Rifda/Sumber: IFC & CNN]

Baca Juga: Mengapa Seleb Hollywood Membenci Donald Trump?

The post 5 Fakta The Shawshank Redemption yang Tak Banyak Diketahui Orang appeared first on Noura Books.

Viewing all 500 articles
Browse latest View live